Imlek, Angpao dan Gus Dur
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial
IMLEK adalah warisan budaya yang sarat akan nilai keagungan.
Karena itu Imlek adalah simbol tradisi yang menjadi budaya rasa syukur.
Namun kerapkali terjadi apa yang disindir oleh orangtua kita
di kampung dulu: “China ari rayo, Melayu mabok e”.
BEBERAPA waktu lalu, saya diminta memberikan “petuah” Imlek dalam pembukaan Festival Imlek Ceria 2025 di Pasar Sungailiat Kabupaten Bangka, tepatnya di depan Klenteng Kwan Tie Miaw yang dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka bersama Yayasan Dharma Bakti Abadi. Dihadapan Pj. Bupati beserta Forkopimda, OPD dan ribuan masyarakat baik Tionghua maupun Melayu yang memadati acara, saya menyampaikan betapa toleransi yang menjadi harmonisasi dikehidupan masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah contoh Indonesia sesungguhnya, teladan manusia modern yang memiliki kualitas hidup. Pada kesempatan itu saya pun mengungkapkan bahwa aset termahal yang dimiliki Bangka Belitung bukanlah timah, bukan lada, bukan pantai yang indah, alam yang bagus, bukan pula sawit, durian, thorium, mineral-mineral bumi lainnya, tapi aset termahal yang dimiliki masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah harmonisasi antara Melayu dan Tionghua.
Setiap Imlek, yang pastinya bertepatan dengan musim hujan, rasanya tak pernah saya bersama keluarga absen untuk menyambangi sahabat-sahabat Tionghua yang sedang merayakan tahun baru mereka dengan keceriaan. Menikmati kebersamaan, saling mengunjungi, saling berbagi kebahagiaan sebagaimana ketika saya juga merayakan Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Setiap perayaan itu, sahabat-sahabat Tionghua selalu datang menyapa, mengunjungi dan memberikan ucapan selamat dalam perayaan tersebut. Tak jarang juga turut membantu memberikan sembako, kue atau apalah untuk meringankan kita dalam perayaan tersebut.
Imlek dan Angpao
BAGI masyarakat Tinghoa, momentum Imlek merupakan saat yang ditunggu tiap tahunnya. Sama halnya kita umat Muslim menunggu momen bulan Ramadhan atau Idul Fitri. Sama halnya, masyarakat Tionghua memiliki tradisi mudik (pulang kampung) saat liburan Imlek. Mereka yang bekerja jauh dari keluarga “wajib” hue jia (pulang) dan berkumpul dengan sanak famili dalam kegembiraan.
Berbalut suasana kebahagiaan, makanan serta jajanan khas Imlek mengiringi setiap detik kebahagiaan bersama keluarga. Umumnya kue keranjang (nian gao), aneka permen/manisan, buah-buahan, dan mie sebagai lambang panjang umur. Sedangkan masyarakat Tionghua di Bangka Belitung juga tak pernah absen dengan pempek, tekwan, lakso, dan beraneka ragam makanan dan minuman lainnya yang dapat kita nikmati.
Kalau soal Angpao, adalah bagian dari bentuk syukur, berbagi rezeki dan ini yang biasanya ditunggu-tunggu oleh anak-anak, baik Melayu maupun Tionghua. Acara kunjungan sanak famili dan sahabat diselingi dengan pemberian angpao. Hanya mereka yang sudah menikah yang boleh memberikan angpao, sedangkan sang penerima angpao adalah anak-anak atau yang masih berstatus lajang. Konon jika masih berstatus lajang atau jomblo namun nekad memberikan angpao karena merasa kelebihan rezeki, dipercaya akan mengalami seret (susah jodoh).