Imlek, Angpao dan Gus Dur

Kamis 30 Jan 2025 - 22:25 WIB
Reporter : Tim
Editor : Syahril Sahidir

Cerita soal Angpao, sekitar 10 tahun silam, putri pertama saya yang kala itu berusia 5 tahun protes keras ketika saya ajak ke rumah teman-teman Tionghua yang sedang merayakan Imlek. Tanpa pernah diajarin, dia protes bergaya rasis: “Kenapa sih kita ikut-ikutan Imlek? Kita kan orang Islam bukan orang China?”. 

Mendengar protesnya, saya dan isteri hanya tertawa dan menjelaskan: “Kita datang ke rumah teman-teman ayah, kebetulan mereka sedang merayakan Imlek. Kalau Lala tidak mau ikut, ya nggak apa-apa, Ayah sama Mama yang pergi, Lala di rumah saja”. Akhirnya dengan agak malas-malasan ia pun terpaksa ikut. Baru satu rumah yang kami datangi, ternyata anak saya ini pengen segera ke rumah kawan saya yang Tionghua lainnya, bahkan ia meminta: “Kita ke rumah kawan ayah yang rumahnya besar itu”. Yang ia maksud adalah rumah pengusaha sukses Bangka Belitung, Djohan Riduan Hasan (Aping) yang kebetulan ia sering saya ajak ke rumah tersebut sebelumnya.  

“Imlek enak ya, dapat duit banyak, ada angpaonya. Duit merah semua. Ayo, Yah, kita pergi banyak-banyak rumah orang China”. Mendengar celotehannya, saya dan isteri tertawa keras, lantas isteri saya nyeletuk: “Kecil-kecil matre…”

Seminggu sebelum Imlek tahun berikutnya, saat dalam mobil menuju kampung Kemuja, anak sulung saya ini bertanya: “Ma, nggak lama lagi Imlek ya?” Isteri saya pun menjawab: “Iya, masih satu minggu lagi”. Tiba-tiba dari belakang ia nyeletuk bernada protes: “Kok lama sekali ya. Lala kan pengen dapat angpao kayak dulu. Enak duitnya merah-merah semua”. Mendengar celutukan polosnya, saya dan isteri pun tertawa sambil geleng-geleng kepala. Bahkan malam sebelum Imlek, lagi-lagi di kamar ia nasehatin saya: “Ayah bangun tidur jangan kesiangan, besok pagi-pagi mau Imlek, dapat angpao….”. Anak sulung saya ini sudah duduk di bangku SMA disalah satu Pesantren, setiap Imlek dia selalu pulang demi ikut saya dan isteri untuk silaturrahim ke kawan-kawan Tionghua yang merayakan Imlek. 

Imlek dan Gus Dur

GUS DUR atau KH. Abdurrahman Wahid adalah Presiden RI keempat sebagai pembongkar fobia terhadap etnis Tionghua. Selama 34 tahun, sejak Presiden kedua, HM.Soeharto mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 14/Tahun 1967, perayaan Imlek dilarang keras. Tapi pada era kepemimpinan Gus Dur yang notabene seorang ulama dikalangan kaum Muslim justru memberikan ruang seluas-luasnya kepada masyarakat Tionghua untuk dapat merayakan pergantian tahun baru Imlek dengan aman bahkan bersama pemerintah. Tak hanya itu, dalam kalender nasional pun perayaan Imlek menjadi hari libur nasional. 

Dibawah kepemimpinan Bapak Pluralisme ini masyarakat Tionghua dapat dengan aman melakukan perhelatan budaya dan tradisi nenek moyang yang berpuluh-puluh tahun dikungkung oleh era Orde Baru. Kita pun akhirnya bisa menikmati Barongsai, Liong dan sedikit mengerti makna Gong Xi Fa Cai yang dalam bahasa Tiongkok bermakna pengharapan kesejahteraan, kemakmuran, umur panjang dan kekayaan berlimpah yang mengandung nilai moral, spiritual dan universal. Warga Tionghua di Indonesia pun tidak lagi menjadi warga negara kelas dua karena tak perlu lagi ada sentiment etnis serta pengkotak-kotakkan yang membuat pandangan wawasan kebangsaan kita menjadi picik dan kerdil. 

Oleh karenanya, ada baiknya disaat Imlek seperti sekarang ini, warga Tionghua Indonesia kembali mengingat serta mendo’akan almarhum Kiyai Haji Abdurrahman Wahid yang telah membuka kran bagi warga Tionghua untuk dapat merayakan tradisi para leluhurnya. Semoga ini semua tidak terlupakan disaat kegembiraan merayakan Imlek setiap tahunnya. 

Gus Dur telah membuka kran demokrasi yang mengajarkan kepada kita bahwa Imlek merupakan simbol-simbol tradisi secara turun menurun. Sehingga perayaan Imlek tidak bisa dijadikan takaran nasionalisme seseorang. Merayakan Imlek bukan berarti tidak nasionalis seperti yang dikhawatirkan oleh Orde Baru dimasa silam. Tetapi Imlek sama halnya dengan merayakan Tahun Baru Hijriyah (Muharram) dan tahun baru dalam kalender Jawa. Intinya setiap orang, setiap etnis berhak merayakan tradisi masing-masing sejauh tidak ada unsur merongrong NKRI dan pemaksaan kehendak kepada orang lain. 

Saya pribadi sejak tinggal di Bangka Belitung beberapa tahun terakhir ini turut mendatangi kawan-kawan Tionghua kala mereka merayakan Imlek. Karena toleransi tetap harus dijaga di Negeri Serumpun Sebalai tanpa harus bertukaran akidah atau menikmati yang tidak boleh kita nikmati sesuai dengan akidah kita (Islam). Jika hanya karena ingin dianggap toleransi, lantas yang tidak boleh (Muslim) nikmati justru kita nikmati, itu namanya bukan toleransi tapi “tololransi”.

Berjejal makanan dan minuman diatas meja saat Imlek bukan berarti sahabat-sahabat kita Tionghua memaksakan kita (Melayu) Muslim untuk menikmati sesuatu yang dilarang dalam agama kita untuk dinikmati saat kita datang silaturrahim. Karena kerapkali terjadi apa yang disindir oleh orangtua kita di kampung dulu: “China ari rayo, melayu mabok e”.

Salam Imlek! Go Xi Fat Cai….!(*)

 

 

Kategori :

Terkait

Kamis 30 Jan 2025 - 22:25 WIB

Imlek, Angpao dan Gus Dur

Selasa 28 Jan 2025 - 17:34 WIB

Aset BSB Tumbuh, tumbuh 4,67 %

Senin 27 Jan 2025 - 22:48 WIB

IMLEK DI PULAU BANGKA