Malapetaka Perhitungan 300 Triliun Kerugian Lingkungan Tata Kelola Pertambangan Timah

Rabu 15 Jan 2025 - 20:46 WIB
Oleh: Admin

Adapun perhitungan Rp 300 triliun tersebut kemudian direstui oleh BPKP sebagai kerugian negara dengan rincian Rp 2 triliun sebagai kerugian atas sewa menyewa alat berat dalam tata kelola pertambangan timah, Rp 26 triliun sebagai kerugian pembayaran biji timah, dan Rp 271 triliun sebagai bentuk kerugian lingkungan dan biaya pemulihannya. Banyak pihak yang merasa perhitungan ini  “halu” karena terkesan aji mumpung dengan memasukkan banyak variabel, akibatnya terjadi banyak perhitungan dobel semisal kerusakan kerugian lingkungan dan pemulihannya. 

 

Apakah kemudian bila terjadi kerusakan akan langsung dipulihkan? Faktanya dilapangan belum tentu langsung dipulihkan, hal ini tercermin dari apakah ada uang negara yang dikeluarkan untuk memulihkan itu? 

 

Sejauh ini masyarakat belum melihat adanya lingkungan yang langsung dipulihkan menggunakan keuangan negara, artinya negara belum mengeluarkan uangnya untuk memberesi kerusakan pasca tambang sehingga negara belum rugi. Hal ini mengindikasikan bahwa yang sebenarnya dihitung adalah potensi kerugian keuangan negara, bukan kerugian negara secara faktual. 

 

Perhitungan ini  lebih cacat lagi apabila kita bandingkan dengan rumusan dalam Undang-Undang Tipikor yang telah diubah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang telah menghilangkan kata “dapat” dalam beberapa Pasal-nya, termasuk Pasal 1 dan Pasal 2 yang menjadi andalan Undang-Undang Tipikor, sehingga jika terdapat indikasi perbuatan pidana yang  hanya menimbulkan potensi kerugian negara maka belum dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. 

 

Hal ini berarti mengubah delik pidana yang tadinya adalah delik formil yakni delik yang hanya dengan berbuat saja maka dapat dikenakan pidana, menjadi delik materil yang mengharuskan adanya akibat semisal kerugian faktual keuangan negara sebagai syarat dapat dikenakan pidana.

 

Hal menarik yang perlu untuk disoroti adalah hilangnya konsep Benefit Cost Analysis (analisis biaya manfaat) dalam perhitungan kerugian negara karena tampaknya perhitungan kerusakan lingkungan tata kelola pertambangan timah ini menyamaratakan semua jenis lahan dan mengasumsikan bahwa setiap lahan bernilai lebih berharga daripada keadaan sebenarnya. 

 

Perlu diingat bahwa asumsi hutan-hutan di Babel adalah aset berharga terkadang melenceng terlalu jauh karena tidak semua lahan adalah hutan yang bermanfaat lebih berharga, ada juga semak belukar yang nilai ekonomis lahannya lebih tinggi apabila sudah di land clearing (dirintis dan dibersihkan). Begitu juga dengan wilayah perairannya yang dirasa telah rusak akibat pertambangan sejak 3 abad yang lalu. 

 

Kajian lingkungan hidup strategis yang harusnya dijalankan secara realistis terkesan tidak dijalankan dengan baik, apakah ada survey langsung ke lapangan sebelum melakukan perhitungan dan apakah perhitungannya telah efisien sesuai dengan fungsi lahan masih sangat dipertanyakan.

 

Tags :
Kategori :

Terkait