Oleh Lendra Dika Kurniawan
Kriminolog Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung
PERHITUNGAN 271 Triliun yang akhirnya ter-ekskalasi menjadi 300 triliun akhir-akhir ini menjadi isu menarik untuk dibahas. Pro dan kontra terhadap perhitungan kerugian lingkungan atas korupsi tata kelola pertambangan timah tampaknya masih menjadi trending topik di media mainstream maupun media sosial. Namun, sebenarnya bagaimana perhitungan yang ideal untuk merealisasikan kerugian lingkungan menjadi nominal keuangan negara?
Kita tentu harus melihat dari sudut pandang yang berbeda untuk memahaminya. Pilihan antara faktor ekologis dan faktor ekonomis terkadang menjadi suatu dilema, khususnya dalam konteks pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung. Negeri yang dijuluki laskar pelangi ini merupakan penghasil komoditas biji timah yang penambangannya sudah dimulai sejak tahun 1726 Masehi.
Bermula dari Kerajaan Sriwijaya sebagai tonggak awal, berlanjut memasuki masa penjajahan kolonialisme, pasca kemerdekaan, bahkan hingga kini masih sangat mengandalkan biji timah sebagai komoditas utama untuk pendongkrak perekonomian masyarakatnya.
Adanya penegakkan hukum terhadap beberapa kasus tata kelola penambangan timah yang hasilnya malah membatasi ruang gerak pelaku tambang membuat ekonomi sirkular Babel yang sebagian besar masyarakatnya adalah penambang tidak berjalan lancar. Pertumbuhan ekonomi yang hanya 1,01% dalam triwulan terakhir tahun 2024 memukul masyarakat Bangka Belitung ke dasar himpitan ekonomi.
Deflasi dan penurunan daya beli masyarakat juga sangat terasa, berimbas juga pada penurunan pajak dan pendapatan daerah yang menurun sangat drastis yang membuat pemerintah daerah di Babel gagal membayar tunjangan pegawainya.
Misalnya saja Pemerintah Kabupaten Bangka yang menghentikan pembayaran TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai) hingga akhir tahun 2024 serta memotong gaji pegawai honorernya, belum lagi PHK dari karyawan smelter yang tutup akibat imbas kasus pertimahan di Babel. Parahnya perusahaan tidak dapat membayar pesangon karena aset-nya di sita oleh Kejaksaan Agung karena diduga adalah hasil dari kejahatan tata kelola pertambangan timah itu sendiri.
Terhitung sekitar 1300-an karyawan yang dirumahkan karena lebih dari 20 smelter yang berhenti beroperasi. Ekspor-ekspor timah tidak lagi berjalan, begitupun investor yang skeptis untuk menyetor modalnya masuk ke provinsi kepulauan ini.