CERPEN: Sang Pewarta

--

"Berantakan?," Tanya Remi lagi.

"Iya. Bahkan sangat berantakan. Pak Besar, konglomerat terbesar di daerah kita ini  membatalkan kerjasamanya dengan koran kita," jelas Pak Liluk sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.

"Saya menuliskan berita itu berdasarkan fakta peristiwa dan fakta pendapat. Saya juga melakukan check dan re check. Beragam narasumber yang berkompeten saya hubungi. Bahkan Pak Besar pun saya wawancarai. Kan itu yang selalu bapak ajarkan dan tekankan kepada kami sebagai jurnalis," jelas Remi.

"Iya. Tulisanmu benar dan akurat. Dan setiap berita ada konsekwensinya. Bagi koran kita ini, yang hidupnya senin-kamis, upaya untuk mendapatkan suntikan dana dari Pak Besar sudah tertutup. Jadi kita harus siap menerima konsekuensinya," ungkap Pak Liluk.

"Kita kan sudah terbiasa dengan style seperti ini Pak. Jadi kenapa kita harus mengorbankan idealisme kita hanya untuk sesuatu yang belum tentu bermanfaat bagi kehidupan orang ramai," kata Remi. 

Keduanya terdiam. Ruangan pun sunyi. Cecak pun enggan bergerak.

 

**     

BACA JUGA:CERPEN: Kebaikan Hati Si Beruang Madu

Sudah dua minggu,  Remi tak menampakkan batang hidungnya di kantor. Kabarnya pun tak ada. Handphonenya pun sulit dihubungi. Bahkan pesan lewat WhatsApp tak dijawab. Sejuta tanya menggelantung dalam hati rekan sekantornya. 

Segudang pertanyaan pun terlintas dalam pikiran sahabat-sahabatnya sesama jurnalis.

Bahkan terlintas  dipikiran nakal mereka , jangan-jangan Remi diculik kelompok Pak Besar. 

Maklum kelompok Besar dikenal sebagai pengusaha yang tak mengenal etika haram dan halal dalam berbisnis. 

Prinsip yang teranut pun sangat tegas dan jelas. Hantam dulu. Urusan belakangan. Kan segala sesuatunya bisa diatur dan diatur.  Yang penting pelicinnya besar dan menggoda para pembuat keputusan dan pemegang kekuasaan untuk berpihak dan mengabdi kepada mereka.

Di mata hati rekan-rekannya, Remi adalah jurnalis yang selalu mengedepankan pembelaan terhadap rakyat kecil. 

Tag
Share