CERPEN: Sang Pewarta

--

"Sampaikan kepada Pak Liluk. Perjanjian hari ini batal. Batal," kata Pak Besar langsung mematikan telepon.

**

BACA JUGA:CERPEN: Tak Ada Lagi Lahan Kosong untuk Kuburanku Nanti

Mentari mulai meninggi. Cahaya terangnya diatas kepala. Seorang lelaki muda berbalutkan jaket kulit buatan dalam negeri tiba di sebuah gedung kuno peninggalan Belanda. 

Sebuah papan nama terpampang di depan gedung tua itu. 

"Surat Kabar Mingguan Kabar Burung".  

Usai memarkirkan kendaraan roda duanya, lelaki muda itu langsung naik ke lantai dua. Sapaan hai dan apa kabar, dia gemakan ke beberapa orang yang ditemuinya sembari mengembangkan senyumnya yang khas dan menggoda. 

Baru saja melepaskan kepenatan dengan merebahkan pantat di kursi, tiba-tiba suara lembut seorang wanita memanggil namanya.

 "Bang Remi. Dipanggil Bos. Penting," ujar wanita itu.

"Sebentar," jawab lelaki yang muda bernama Remi.

Dengan langkah penuh keterpaksaan, Remi menuju ruangan Pak Liluk yang merupakan pimpinan perusahaan sekaligus pemimpin redaksi Surat Kabar Mingguan Kabar Burung. 

"Bapak memanggil saya,?" tanya Remi saat memasuki ruang kerja sang Bos.

"Iya. Hari ini headline koran kita jadi perbincangan di mana-mana. Berita yang kamu tulis menggegerkan jagad daerah ini. Banyak tanggapan berdatangan. Ratusan WhatsApp mengalir ke handphone saya," terang Pak Liluk panjang lebar.

"Itu sebabnya Bapak memanggil saya?," tanya Remi lagi.

"Ya. Buah berita hebat mu itu membuat semua agenda kantor kita berantakan," jelas Pak Liluk.

Tag
Share