Malapetaka Perhitungan 300 Triliun Kerugian Lingkungan Tata Kelola Pertambangan Timah
Lendra Dika Kurniawan.-Dok Pribadi-
Hal-hal diatas nampaknya belum rampung dengan adanya masalah struktural lain yang tidak akan habisnya untuk dibahas, menempatkan Kepulauan Bangka Belitung menjadi provinsi yang sangat rentan secara ekonomi.
Perhitungan kerugian ekologis yang menjadi “kambing hitam” rusaknya ekonomi Babel ini juga tentu menarik untuk dijelaskan, opini liar di media sosial terkadang melenceng terlalu jauh dengan mengaburkan pandangan netizen. Ironinya malah Babel yang menjadi hujatan satu Indonesia saat ini, seakan-akan menjadi salah satu provinsi terkorup di Indonesia yang orang-orangnya berjamaah menjamah hasil kekayaan bumi untuk kepentingan pribadinya.
Namun berbeda kenyataannya, terhadap hal ini masyarakat butuh penjelasan yang informatif dan lebih mencerahkan. Mengenai perhitungann ini memang perlu dikaji ulang mengingat rumusannya sudah cukup usang, tepatnya perhitungan ini diambil dari Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran yang berakar pada teori Robert Costanza, seorang ahli lingkungan yang memfokuskan diri untuk mengkaji tentang perhitungan valuasi jasa ekosistem lingkungan pada tahun 1997.
Metodologi yang digunakan untuk menakar kerugian terkesan tidak relevan dengan perhitungan saat ini khususnya untuk menakar kerugian lingkungan pasca pertambangan timah di Babel.
Manfaat utama dari valuasi jasa lingkungan adalah menghitung apa yang alam bisa sediakan kepada kita sebagai manusia yang hidup disuatu ekosistem tertentu, dalam konteks ini adalah apa yang disediakan oleh alam Babel seperti aliran sungai bersih, udara segar, ekosistem hutan yang asri, dan lain-lain, tapi bukan berarti kehilangan fungsi lingkungan tersebut harus diakumulasi semua sampai pada hal-hal yang menjadi turunannya misalkan oksigen yang tidak ada habisnya untuk dihitung, karena itu merupakan sesuatu yang bersifat intangible; tidak dapat dihitung karena memang tidak nyata kebendaannya.
Sebagaimana diketahui bahwa pertambangan timah di Bangka Belitung sudah eksis hampir 3 abad lamanya, sehingga kerusakan yang terjadi-pun adalah hasil dari pertambangan secara kumulatif sedari awal. Alangkah tidak bijaknya kemudian mengait-ngaitkan kerusakan yang ada sekarang sebagai konsekuensi dari segelintir pihak saja.
Harusnya yang dihitung adalah hal-hal nyata yang nampak secara jelas, begitupun jelas secara rentang waktu karena yang harusnya dihitung adalah kerugian lingkungan kondisi awal jika dibandingkan dengan kondisi faktual sekarang.