Pilkada 2025 dan Kedewasaan Kita
Ahmadi Sopyan-screnshoot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya
TAK perlu ada kebencian antar kawan, tetangga,
apalagi antar saudara dan keluarga hanya karena pilihan berbeda.
Demokrasi seharusnya mengajarkan kita bersikap dewasa.
----------
BERBAGAI kasus anarkis pernah dan selalu ada akibat Pilkada di berbagai daerah di Indonesia menjadi cermin bagi kita semua bahwa tingkat kedewasaan masyarakat masih dalam taraf balita dalam berdemokrasi. Hanya karena perbedaan warna sesaat saja, kita tak lagi saling menyapa padahal sebelumnya seiring dan seirama. Sebagai warga Negeri Serumpun Sebalai, kita patut bersyukur, Pilkada 2024 berlangsung aman dan damai bahkan menjadi pembicaraan nasional karena kemenangan Kotak Kosong yang cukup fenomenal sebagai kemenangan rakyat. Proses demokrasi sudah berjalan dengan baik walau belum maksimal. Ia tak boleh dikotori dengan menghalalkan segala cara demi ambisi kekuasaan dan ketidakdewasaan dala menerima kenyataan.
Sebab ketidakdewasan dan menghalalkan segala cara, baik dari para calon, timses maupun para pendukung yang fanatik membabi buta, tindakan dan perilaku-perilaku yang tidak sehat menjadi perkembangan buruk pada mental demokrasi kita kedepan. Saling membully, saling menyerang di media sosial, mencaci maki, menghina, memfitnah, mengumbar aib, tak peduli keluarga atau seperadik sendiri.
Sebab ketidakdewasaan kita rakyat dalam memilih para pemimpin kerapkali Pilkada menjadi ajang menghambur-hamburkan pemberian sesaat oleh para calon yang penuh dengan ambisi, baik itu berupa kain sarung, jilbab, mukena, beras, minyak goreng, kaos, pernak-pernik, bahkan uang yang jumlahnya tak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang sudah kita miliki dari hasil jerih payah kita bekerja sehari-hari.
Juga karena ketidakdewasaan kita dalam memilih akhirnya ajang Pilkada menjadi ajang saling memukul bukan saling merangkul, saling mengejek bukan saling mengajak, menggunakan sentiment bukan argument. Bahkan penyampaian visi misi yang dilakukan oleh para calon sekalipun nampaknya justru menjadi ajang menjelek-jelekkan. Kita terlalu yakin bahwa kitalah yang terbaik, terbersih, terhebat, tak punya kelemahan, semua orang suka, padahal semua tahu kita adalah bagian dari apa yang kita jelek-jelekkan itu. Yang pada akhirnya kita tak lebih dari badut yang menjadi bahan tertawaan anak-anak saja. Inilah salah satu contoh dari ketidakdewasaan dari para calon pemimpin kita yang ada.
Ketidakdewasaan itu pula yang akhirnya menemukan titik nadirnya di negeri kita ini. Orang pintar jadi frustasi dan setengah gila, orang bodoh banyak bicara dan tampil dimuka bahkan dibanggakan sebagai yang terbaik. Orang alim menyendiri, yang tidak alim semakin keras hati dan bebas berekspresi dengan mencaci maki. Orang kaya semakin berfoya-foya dan yang miskin semakin tersudutkan dalam kekecewaan dan penderitaan sehingga menjadi kaum penadah tangan, memilih karena pemberian. Pejabat dan antek-anteknya semakin bertindak bejat dan rakyat pun menjadi kelompok penghujat. Inilah yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kita yang salah satu penyebabnya karena ketidakdewasaan kita dalam berdemokrasi dan menganggap yang berbeda adalah musuh, walaupun ia keluarga sendiri.
Pilkada seharusnya adalah ajang pembelajaran bagi pemimpin bahwa kekuasaan yang diraih harus melalui tangan rakyat. Oleh karenanya ketika jabatan itu dapat diraih, tangan-tangan itulah yang harus digenggam erat dan tak boleh dilepaskan apalagi diabaikan. Karena jika tidak, tunggulah saatnya tangan-tangan rakyat itulah yang suatu hari akan menampar sang pejabat.
Bagi kita rakyat, Pilkada seharusnya adalah proses pembelajaran dalam demokrasi. Tak perlu silau hanya karena pemberian sang calon yang nilainya tidak seberapa, tak perlu menjual suara dan harga diri hanya karena kain sarung atau jilbab yang dibeli di Pasar Senen Jakarta, lalu dengan sombongnya dihambur-hamburkan di rumah-rumah kita. Kita rakyat adalah penentu dari mereka-mereka yang sedang berambisi meraih jabatan.