Es Teh & Humor “Goblok” Seorang “Gus”
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
MIFTAH harus paham bahwa sebuah humor ketika diarahkan dengan tidak tepat, tidak hanya menghancurkan kredibilitas, tapi juga menimbulkan luka mendalam. Dakwah itu merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek, menggunakan argument bukan sentiment!
--------------------
DI USIA masuk remaja, tepatnya tahun 1996, inilah pertama kali saya mengenal dan minum es teh, tepatnya di Jombang Jawa Timur. Sempat kaget, sebab selama masa kecil di Pulau Bangka, kala itu yang saya tahu minum air teh tidak pernah dicampur es, sebab dulu kami disini, minum teh pasti dalam keadaan hangat. Saya sempat tertawa dan nyeletuk “ini keajaiban dunia yang ke-8” ketika minum es teh untuk pertama kali. Bagaimana rasanya? Jangan ditanya, nikmatnya bukan main, sebab di usia remaja itu, es adalah minuman yang paling disenangi. Selanjutnya hampir setiap makan di warung, selalu pesan minum adalah es teh.
Ketika nyantri di Pondok Pesantren Modern Al-Barokah Kertosono Nganjuk Jawa Timur, saat ada pertandingan sepakbola, minuman yang paling mewah dan sangat ditunggu adalah es teh yang dibuat didalam drum berwarna biru dan para pemain bisa bebas minum. Sedangkan yang bukan pemain, hanya menelan air liur. Jika sudah kepengen banget, ya bisa saja nunggu sisa dari para pemain. Kebetulan saya salah satu kiper cadangan, jadi lebih banyak minum es teh ketimbang turun ke lapangan, apalagi disaat cuaca cerah.
Cerita es teh belum selesai. Saya memiliki seorang kakak alumni Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo yang biasa saya sapa Kak Amin. Sekitar tahun 1996 sampai masuk tahun 2000-an, saya sering ikut Kak Amin untuk membantu usahanya dalam bidang percetakan. Selain mengajar di salah satu Pesantren besar di Jombang, Kak Amin memiliki usaha percetakan. Konsumennya adalah pesantren dan sekolah-sekolah. Saya bagian mengantar atau mencari order. Istilah kasarnya salesman. Yang paling saya senangin adalah ketika dapat tugas masuk ke Pesantren putri, seperti di Pesantren Gontor Putri di Mantingan dan di Al-Mawaddah di Ponorogo. Yang pasti apapun makanannya di setiap warung yang saya singgahi, minumannya pasti es teh.
Nah, es teh ini dibuat sangat sederhana dan nampaknya cukup menguntungkan walau tak sebesar bisnis benda cair lainnya, misalnya solar atau BBM. Cukup dengan sedikit gula, air setengah lantas diaduk hingga gulanya tak terlihat (atau juga kadangkala tak diaduk), lantas dicelupin bongkahan es. Nah, karena bongkahan es itu, maka air yang ada dalam gelas pastinya tidak boleh penuh, maksimal setengah dari gelas. Sehingga ketika masuk bongkahan es, nampak air teh menjadi penuh dan sah disebut es teh.
Suatu hari, saya mampir ke warung bersama Kak Amin. Kami pesan masing-masing makanan dan selanjutnya sama-sama pesan es teh. Tentunyab karena berdua, ya pesan es tehnya 2 gelas. Ternyata tidak. “Satu saja es tehnya” ujar Kak Amin kepada penjaga warung. Saya jadi kaget dan bertanya: “Kok Cuma satu?”. Lantas Kak Amin menjawab: “Tenang aja”. Lantas datanglah 1 gelas es teh yang kami pesan. Kepengen rasanya langsung saya ambil dan nikmati sebab haus sudah tak tertahan. Tiba-tiba Kak Amin berkata kepada penjaga warung: “Minta gelas kosong satu ya” lantas gelas kosong pun datang. Tidak lama kemudian, Kak Amin membagi bongkahan batu es ke dalam gelas kosong dan membagi air teh dari gelas sebelumnya. Saya kaget, lantas dituangkan dengan air putih sedikit. “Nah, kan jadi 2 gelas. Hemat dan cerdas” ujar Kak Amin yang disambut tawa serta geleng kepala dari saya. “Qoliil adab sampeyan” (Nggak beradab kamu ini) ujar saya terkekeh-kekeh. “Bikin rugi tukang warung aja” celetuk saya yang disambut tawa oleh Kak Amin.
Tak pernah terbersit dalam benak saya menulis tentang es teh ini. Tapi ketika viral fenomena penjual es teh dengan seseorang yang disebut banyak orang sebagai “ahli agama” dan bergelar “Gus” serta pejabat negara yakni Utusan Khusus Presiden RI, ternyata menggelitik saya untuk menulis tentang es teh.
Miftah Maulana, saya kurang sreg menulis depan namanya dengan kalimat “Gus”. Walau bukan orang Jawa, tapi saya sedikit banyak tahu makna “Gus” yang disematkan masyarakat kepada seseorang. Saya tidak melihat itu pada sosok Miftah Maulana ini. Saya tidak juga menyebutnya sebagai seorang ahli agama, sebab tak pernah mendengar ceramah-ceramahnya yang menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits, ataukah saya salah sebab memang tak pernah mendengar ceramahnya sama sekali. Sosoknya disebut pendakwah, namun sepengetahuan saya dalam dakwah itu bersifat merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek dan menggunakan argument bukan sentiment. Mengejek dengan kalimat yang kasar dan dilakukan kepada rakyat kecil sang ayah pencari nafkah keluarga hingga malam dini hari, terus dilakukan dihadapan banyak orang, itu namanya merendahkan, mempermalukan, dan pelakunya pantas disebut sosok yang menjijikkan. Wajar ketika masyarakat nitizen menyindir dengan kalimat yang menurut saya sangat menohok: “Lebih baik menjual es teh daripada menjual agama”.
Miftah harus paham (jika mau belajar), bahwa humor terutama dalam dakwah bukanlah hal yang utama, ia hanya bumbu-bumbu kecil agar jama’ah sedikit terhibur. Sebab pendakwah dan pelawak itu jauh berbeda. Humor juga punya nilai, yakni bukanlah sebuah senjata yang bisa digunakan sembarangan, apalagi kepada rakyat jelata, ditambah disaat sedang belum tuntas lelahnya mencari nafkah demi menghidupi keluarga, terlebih lagi dilakukan didepan umum yang disaksikan ratusan atau bahkan ribuan orang. Sebuah humor ketika diarahkan dengan tidak tepat, tidak hanya menghancurkan kredibilitas sang pembicara, tapi jua menimbulkan luka mendalam bagi targetnya.
Ucapan yang disebut Humor oleh orang-orangnya Miftah, ternyata telah merampas martabat seorang penjual es teh. Bahkan seorang Presiden sekalipun jika berucap demikian, pasti tetaplah tidak akan bisa kita terima, apalagi seseorang yang hanya Utusan Khusus Presiden. Artinya komunikasi publik atau komunikasi massa seorang utusan Presiden RI bernama Miftah Maulana ini sangatlah buruk dan tidak pantas untuk mewakili orang nomor 1 di negeri ini. Miftah layak untuk dipecat tidak terhormat, agar rakyat jelata seperti penjual es teh menjadi terangkat martabatnya oleh negara.