Pilkada 2024: Partisipasi Warga Rendah, Tapi Dinasti Politik Naik
Ilustrasi-screnshot-
BACA JUGA:Prabowo Sukses Gelar Pilkada Adil dan Bersih
Yassar juga mengingatkan dukungan yang diberikan oleh Presiden Prabowo sebagai pejabat negara sudah melanggar UU Pilkada.
"Dia melakukan tindakan yang menguntungkan pasangan yang di-endorse dan merugikan pasangan yang melawan calon yang di-endorse tersebut. Sangat jelas dan terang itu melanggar UU pilkada di pasal 71," kata Yassar.
"Ini harus dieksekusi oleh Bawaslu. Maksudnya adalah, harus ada investigasi untuk menentukan apakah memang terjadi pelanggaran tersebut," katanya.
Pasal 71 Undang Undang Pilkada menyebutkan, pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan kepala desa atau lurah, dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Sebenarnya Indonesia pernah menerapkan pasal yang melarang politik dinasti dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 pasal 7 huruf "r", yang menyebutkan untuk maju sebagai calon kepala daerah, tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XII/2015 membatalkannya, karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Yassar menilai dengan melihat banyaknya peserta Pilkada 2024 yang terafiliasi dengan dinasti politik, menjadi momen yang tepat untuk mempertimbangkan ulang putusan ini.
"Jadi lebih baik ada pembatasan yang tentu bisa menyeimbangkan antara keadilan yang dijamin oleh MK melalui putusannya, tapi di sisi lain juga tidak merenggut pemilih dari opsi opsi yang lebih beragam," tambahnya.
BACA JUGA:Nih Dia Artis yang Kalah dan Menang di Pilkada
Partisipasi Warga Rendah
Partisipasi pemilih untuk pilkada kali ini rendah, bahkan ada yang mencapai kurang dari 50 persen seperti di Tambora (Jakarta Barat )dan Bandung (Jawa Barat), seperti penemuan Lembaga Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).
Sejumlah pengamat politik mengatakan waktu yang terlalu berdekatan dengan pemilu serta durasi kampanye yang sedikit menjadi salah satu penyebabnya, karena warga tidak terlalu memahami siapa calon kepala daerahnya.Kepada ABC Indonesia, Adjie Alfaraby, peneliti dari LSI Denny JA mengatakan setidaknya ada dua faktor mengapa partisipasi pada pilkada kali ini rendah.
"Keletihan atau kejenuhan pemilih karena baru selesai pemilu presiden dan pemilu legislatif," ujarnya.
Selain itu di tujuh provinsi besar, Adjie menjelaskan banyak pemilih yang tak datang ke tempat pemungutan suara karena "bingung" tidak ada pilihan yang cocok.