BOEN ASIONG DI BELO (BELOEH)

Senin 12 Feb 2024 - 19:57 WIB
Reporter : Akhmad Elvian
Editor : Syahril Sahidir

Pengantar Redaksi: 

ORANG-ORANG kaya atau 'bos besar' yang menguasai ekonomi khususnya pertimahan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) selalu ada.  Salah satunya Boen Asiong di Belo --Bangka Barat sekarang...

 

Oleh: Dato’Akhmad Elvian,DPMP

Sejarawan dan Budayawan 

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 

 

 

BANGKA menjadi wilayah Sindang yang berstatus Merdeka atau Mardika yang berarti bebas (vryheren) setelah berada dalam pengaruh kekuasaan kesultanan Palembang Darussalam sekitar pertengahan abad 17 Masehi. 

--------------

SEBAGAI pusat kekuasaan awal Pulau Bangka berada di Kota Mentok. Penguasa yang berstatus merdeka atau bebas (vryheren) adalah orang yang ditunjuk sebagai wakil sultan dan memiliki kekuasaan yang besar sampai pada memutuskan perkara mati bagi pelaku pelanggaran adat dan aturan kesultanan. Sebagai penguasa awal yang mengatur pemerintahan dan pertambangan Timah di pulau Bangka diangkatlah Wan Abdul Jabar atau Datuk Dalam Hakim (mertua sultan Mahmud Badaruddin I Jayowikromo yang memerintah Tahun 1724-1757). Setelah meninggalnya Datuk Dalam Hakim atau Wan Abdul Jabar, kemudian diangkatlah  Datuk Akub atau Datuk Rangga Setiya Agama, dan selanjutnya setelah wafatnya Datuk Akub, kekuasaan atas pulau Bangka diserahkan oleh sultan kepada putera Datuk Wan Seren yaitu Datuk Wan Usman. Jabatan Datuk Wan Usman adalah sebagai seorang Manteri Rangga yang dikenal dengan sebutan Datuk Adji Manteri Rangga Usman. 

Kedudukan Manteri Rangga Usman, sama kedudukannya dengan Manteri Rangga yang ada di Kesultanan Palembang Darussalam. Sama halnya dengan Datuk Dalam Hakim dan Datuk Rangga Setiya Agama,  Manteri Rangga Usman memiliki kekuasaan yang besar sebagai kepala pemerintahan dan pertambangan Timah di seluruh Pulau Bangka (awalnya Wan Seren dan Wan Usman hanya berkuasa di wilayah Bangka Bagian Selatan dan Wan Usman dikenal di Selatan Pulau Bangka dengan panggilan Tuk Adji atau Nek Adji). 

BACA JUGA: PATEH SINGA PANDJANG DJONGOR

Kota Mentok sebagai pusat pemerintahan dan pusat Penambangan Timah di Pulau Bangka sekitar pertengahan abad 17 dan 18 Masehi semakin berkembang dan maju. Awalnya Kota Mentok banyak dihuni  orang pribumi Bangka dari Proatin Punggur dan Sukal, serta proatin di sekitarnya,  kemudian Kota Mentok mulai ramai dihuni oleh orang Melayu dari Johor dan Siantan,  kemudian Kota Mentok semakin ramai dengan kedatangan orang Cina dari Siam, Kamboja dan Patani serta dari Kochin. Orang Cina, datang ke Mentok pulau Bangka, awalnya didatangkan oleh seorang peranakan Cina Palembang bernama Coeng Hoeyoet atas perintah Sultan Palembang (Sultan membuat kebijakan mendatangkan pekerja-pekerja Cina yang terampil untuk menambang Timah guna meningkatkan produksi Timah di Pulau Bangka dan untuk memenuhi kontrak perdagangan Timah dengan VOC yang secara awal telah ditandatangani pada Tahun 1710 Masehi, masa sultan Muhammad Mansyur Jayo Inglago). Pada masa Datuk Wan Abdul Jabar dan Datuk Wan Akub, orang Cina awalnya hanya tinggal di Mentok, Belinjoe (Pandji) dan Boenoet, akan tetapi pada masa Rangga Usman, pemukiman orang Cina sudah meluas menempati juga wilayah Rambat hingga sampai ke wilayah Tempilang, terutama seiring dengan perkembangan penambangan Timah di wilayah wilayah tersebut.

Pada masa Rangga Usman berkuasa di  Mentok, berkuasa pula seorang Cina bernama Oen Asing atau Boen Asiong, yang karena keahliannya dalam pertimahan dan dekat dengan Rangga Usman diangkat menjadi Kapitan Cina, menggantikan Coeng Hoeyoet (Soejitno, 2011:150). Seiring dengan perkembangan Kota Mentok dan perkembanga pertambangan Timah, kejahatan di bidang pertambangan Timah pun terjadi. Persaingan pengelolaan pertambangan Timah terjadi antara orang dari Siam dibantu orang Palembang dengan orang Cina di wilayah Beluh (Belo), yang menimbulkan korban besar di dua pihak dan menyebabkan Satu aliran sungai menjadi busuk karena bangkai orang yang mati berkelahi, sehingga aik atau anak sungai tersebut dikenal dengan sebutan Aik Seboesoek. Keributan dapat diatasi oleh Manteri Rangga Usman dan setelah diselidiki terbongkarlah kejahatan berupa praktek curang pertimahan yang dilakukan Boen Asiong, yaitu menyelundupkan atau menjual Timah tidak kepada sultan akan tetapi menjualnya ke wangkang-wangkang Cina yang merapat di pelabuhan tersembunyi yang aman dekat Mentok. Setelah kejahatannya terbongkar, Boen Asiong ditangkap oleh Rangga Usman dan di kirim ke sultan Palembang untuk diadili. Boen Asiong dijatuhi hukuman mati, seluruh hartanya dirampas, akan tetapi karena Boen Asiong sangat kaya, banyak Manteri-Manteri di Kesultanan Palembang yang menolongnya, dan hukuman matinya pun gagal dilakukan, akan tetapi dihukum seluruh hartanya disita dan Boen Asiong dibuang ke wilayah Huluan Palembang di dusun Belid dekat Muarabeliti. 

Kategori :

Terkait

Senin 07 Oct 2024 - 21:27 WIB

EXILE GOVERNMENT FROM BANGKA

Senin 30 Sep 2024 - 21:33 WIB

Keris dan Harta Depati Amir

Senin 23 Sep 2024 - 21:42 WIB

BALAI GEMEENTE DI JALAN BALAI