MADU PELAWAN

Akhmad Elvian-screnshot-

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

SALAH satu bumiputera di Pulau Bangka yang menjadi pendukung utama kebudayaan berbasis darat (land base culture) adalah Orang Darat. 

-----------------

KEHIDUPAN utama Orang Darat adalah berladang atau berume. Orang Darat atau sering disebut dengan Orang Gunung (hill people) juga bekerja mengumpulkan hasil-hasil hutan (berburu dan meramu) untuk ditukar (besilor) dengan keperluan hidup lainnya seperti garam, besi dan kain kasar. Sekitar abad 13 Masehi, Pulau Bangka ditinggalkan oleh Tumenggung Dinata seorang utusan dari Keperabuan Majapahit setelah melakukan penataan terhadap kemasyarakatan, adat istiadat dan pemerintahan di Pulau Bangka dan kemudian Tumenggung Dinata atau Dinta menyerahkan kekuasaan Pulau Bangka kepada para patih/pateh dan proatin pribumi Bangka.  Tumenggung Dinata juga telah melakukan penyelidikan terhadap hasil-hasil yang ada di Pulau Bangka untuk dipersembahkan kepada Majapahit, dan hasilnya sangat sedikit. Dalam Semaian 2 Carita Bangka disebutkan:..

”Maka begitu lama itu temenggung duduk tinggal di Bangka menghaturkan adat perintahan serta meriksa apa ada jadi keluar kehasilan di tanah Bangka tetapi tiada satu hasil sebab itu tempoh orang Bangka punya tempat makannya lagi di dalam opih pinang, pakaian kulit, kayu kapur, bertengkolok sama sumpit tempoh itu melainkan kerja ladang dan menganyam tikar pemakannya segala rupa yang didapatnya” (Wieringa,1990:61). 

Mungkin yang dimaksudkan dengan “pemakannya segala yang didapatnya” adalah sistem kehidupan berburu dan meramu yang menunjukkan hasil-hasil hutan di Pulau Bangka seperti yang disebutkan dalam catatan Lange tentang hasil-hasil di Pulau Bangka selain Timah. Lange (1850:16) menyatakan di samping menghasilkan Timah, Pulau Bangka juga menghasilkan Rotan, Damar, Madu, dan Tikar Kajang (tikar yang dianyam dari Daun Nipah atau Daun Rumbia) serta Kayu Wangi dari Species Gonstylus Bankanus yang laku dengan harga mahal di Persia bahkan lebih mahal dari Gaharu (Aqualiria). Pada masa Pulau Bangka dikuasai Kesultanan Palembang Darussalam, di samping berladang ume, Orang Darat yang sudah berkeluarga, juga bekerja mencari timah, terutama untuk membayar pajak timah tiban tukon setiap tahun kepada sultan sebagai tanda raja seberat 50 kati (Wieringa, 1990:59-62).

Salah satu hasil hasil  yang sampai sekarang masih banyak dihasilkan di hutan pulau Bangka adalah madu dan lilin madu. Dalam catatan Residen Inggris untuk Palembang dan Bangka, M.H. Court tentang hasil hutan, madu dan lilin madu dikatakan bahwa: Ada Duabelas Campoongs (kampung) di lingkungan Batin Oolim, dengan populasi penduduk sebesar 267 orang, yang terdiri dari segala usia. Mereka telah menghasilkan Seratus Limapuluh peculs (pikul) Timah dalam setahun, dari lima tambang kecil, mereka juga menawarkan diri untuk mengangkut Timah yang kemudian dikirim ke Minto atau Toobooallie. Mereka juga mengumpulkan setiap tahunnya sekitar Duapuluh pecul (pikul) madu dan lilin (Court, 1821:208, 209). Residen M.H. Court (1821:193,194) juga menyatakan, bahwa Pulau Belitung pada masa kekuasaan Inggris dengan jumlah penduduk sekitar 2.000 orang, hanya menghasilkan Teripang, Agar-agar atau Rumput laut, Sarang burung, kayu Gaharu atau Kalembek, Madu, Lilin, Damar, dan Besi dalam jumlah yang cukup besar. Besi terutama digunakan untuk membuat bilah keris dan parang. Sementara itu Horsfield, (1848:317), peneliti Inggris menjelaskan tentang kampung di sekitar Banca Cotta yang dikatakannya tidak memberikan banyak harapan dalam menghasilkan Timah. Komoditas seperti tikar, madu, dan lilin adalah barang-barang dagangan orang-orang Bangkakota. 

Untuk mengambil madu di hutan, masyarakat Bangka melakukannya dengan cara tradisional dan penuh dengan kearifan lokal. Madu diambil dengan kegiatan yang disebut  musung atau Musong. Lebah-lebah yang hidup di hutan Pulau Bangka diambil madunya dengan cara dipusung atau dipusong yaitu dengan cara membuat lebah meninggalkan sarangnya menggunakan asap. Di hutan Pulau Bangka banyak terdapat lebah yang menghasilkan madu berkualitas dengan rasa sesuai dengan bunga pohon yang dihisap oleh lebah. Jenis-jenis rasa madu tersebut misalnya bisa terasa pahit, karena lebah mengisap bunga atau kembang dari Pohon Pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff), kemudian bisa terasa manis bila lebah mengisap bunga dari Pohon Samak (Syzygium inophyllum DC), Pohon Pulai (Alstonia scholaris) dan Pohon Mensirak (Ilex Cymosa) serta Pohon Karet (Hevea brasiliensis). Madu atau Aik Madu yang terkenal dari Pulau Bangka salah satunya adalah Madu Pelawan karena sedikit terasa pahit dengan aromanya yang khas serta manfaatnya untuk kesehatan dan obat seperti penyakit gangguan pada ginjal, tekanan darah tinggi dan tekanan rendah, gangguan pada lambung, diabetes serta aik madu dapat menetralkan racun dalam tubuh, bahkan Madu Pelawan bisa mencegah kematian akibat racun bila seseorang digigit oleh Mentilin (Tarsius Bancanus).  

Kegiatan musung madu dilakukan secara berkelompok, biasanya dimulai dengan mencari lokasi tempat lebah bersarang. Berdasarkan lokasi tempatnya bersarang, madu dapat dibedakan atas dua jenis yaitu Madu Sunggau dan Madu Dahan. Bila menemukan sarang madu biasanya diberi tanda dengan menakel pohon tempat madu bersarang dengan tanda tertentu dan diberi Sarat dengan jampi dan mantra  tertentu agar madu tersebut tidak diganggu atau diambil oleh orang lain. Menurut De Clercq yang dimaksudkan dengan Madu Sunggau adalah: “Madoe Soenggoeh (ten rechte Soenggau ) is „een stok van ±2 vadem lengte, die tusschen de takken van een boom in uitstekende richting gebonden wordt, om de bijen te lokken daar aan hun nest te maken", Madoe-Sijalang (Sijalang hier zelden gebruikt, meer te Palembang) (De Clercq, 1895:141). Maksud De Clercq dalam bukunya “Bijdrage Tot De Geschiedenis van Het Eiland Bangka (Naar een Maleisch Handschrift)”, dalam Bijdragen Tot De Taal, Land, En Volkenkunde in Netherlands Indie (BKI), 1895, Madoe Soenggoeh (tepatnya Soenggau) adalah “sebatang tongkat sepanjang ± 2 depa, yang diikatkan di antara dahan pohon dengan arah menjorok, untuk memikat lebah agar membuat sarangnya di sana”. Madoe-Sijalang (Sijalang disini jarang digunakan), lebih lanjut di Palembang) (De Clercq, 1895:141). Maksudnya De Clercq, bahwa jenis Madu Sijalang jarang ditemukan di Pulau Bangka dan banyak ditemukan di Palembang. Madu Sijalang atau Papah adalah madu yang diperoleh dari hutan rimba di Pulau Sumatera dan madunya biasa hinggap di Pohon Sialang (Koompassia excels), yang kalau di Pulau Bangka disebut dengan Pohon Menggeris. Di Pulau Bangka madu yang hinggap di pohon disebut dengan Madu Dahan misalnya madu yang banyak hinggap di hutan hutan Pelawan.

Bila sarang lebah yang ditemukan bagian bawah sarangnya telah membesar atau pada bagian “Perulun” (kantung-kantung air madu) telah penuh dan bagian sarang yang tipis berisi anak-anak lebah (air madu dan anak madu berada dalam kantung terbuat dari lilin), maka sarang lebah tersebut sudah siap untuk dipusung atau dipusong. Sebelum melakukan pemusungan perlu disiapkan peralatan memusung yang disebut “nyenyamu”, yaitu terbuat dari kumpulan ranting kayu kering sepanjang sekitar satu meter, dengan ukuran selebar paha orang dewasa. Ranting kering lalu dibungkus atau dibalut dengan dedaunan hijau dari tunas-tunas kayu sepanjang satu meter, setelah dibalut rata dengan dedaunan tadi, lalu dililit dengan tali Ketakung atau Ketuyut, atau jenis akar kayu lainnya. Bila nyenyamu sudah siap, maka dibakar pada bagian nyenyamu yang lebih kecil, bila api telah merata memakan ranting kering dalam lilitan yang dibungkus tunas-tunas kayu basah tadi, maka akan keluar asap pekat dari bagian nyenyamu yang lebih besar. Bila madu yang dipusung itu Madu Sunggau, pemusung tidak perlu naik ke atas pohon akan tetapi cukup memulai pengasapan dari bagian pangkal Sunggau dengan asap yang keluar dari bagian nyenyamu yang lebih besar. Dalam melakukan pengasapan orang yang memegang nyenyamu harus bersikap tenang dan pegangan nyenyamu harus mantap agar lebah menjadi “bantut” karena mabuk asap. Bila dalam melakukan pengasapan ada lebah yang terbang dan hinggap di lengan, muka, serta kuping, maka pemegang nyenyamu harus bersikap tenang sebab lebah yang mabuk karena asap tidak akan menyengat bila posisinya tidak terjepit.

Untuk memusung jenis Madu Dahan, prosesnya sama dengan memusung Madu Sunggau, cuma pemusung harus memanjat pohon untuk mendekati sarang lebah. Pada zaman dahulu Madu Dahan banyak sekali jumlahnya, berkisar sampai 20 helai dalam satu pohon. Madu yang telah diperoleh setelah ditiris dan dipisahkan dari lilin dan sarang serta anak lebahnya, lalu disimpan dalam suatu wadah yang disebut “Uyeng” agar tidak berubah rasa maupun warnanya, walaupun disimpan dalam waktu yang relatif lama. Uyeng terbuat dari kulit kayu “pohon Bunut”(Ficus). Pohon Bunut dikenal dalam 3 jenis varietas, yaitu varietas Bunut Putih (ficus glauca), Bunut Mangkok (ficus virens), dan juga varietas Bunut Merah (ficus glabella). Uyeng dibuat berbentuk persegi Empat, mirip dibuat seperti gentong kayu. Kulit-kulit kayu Bunut tersebut direkatkan dengan menggunakan Lilin Madu pada bagian-bagian sambungan yang berlubang sehingga tidak bocor. Uyeng yang berisi aik madu disimpai (diikat) dengan rautan rotan di sekelilingnya agar tidak begeser, sehingga walau disimpan dalam Satu tahun aik madu tidak akan berubah rasa maupun warnanya. Madu yang diperoleh dari lebah sangat banyak khasiatnya dan sangat cocok untuk kesehatan bila madu tersebut diperoleh dengan cara yang benar. Dalam kepercayaan dan tradisi masyarakat Bangka, bila madu yang diperoleh dengan cara yang tidak benar (bukan madu temuannya) misalnya mengambil madu yang sudah diberi tanda (ditakel) dan dipasang sarat atau jampi/mantra, maka diyakini bahwa madu tersebut akan membawa penyakit dan bala seperti sakit perut, besar perut, buruk perut (perut yang membusuk), batuk-batuk bahkan sampai menyebabkan muntah darah. Kepercayaan masyarakat juga mengatur bahwa setiap orang yang akan membeli madu harus bersikap hati-hati, biasanya untuk memberi jaminan bahwa madu tersebut asli tidak dicampur dengan air, gula ataupun pemahit seperti gambir, kemudian madu yang dijual diperoleh dengan cara yang benar, maka yang menjual harus mencicipi terlebih dulu sedikit madu sebagai bukti atau jaminannya.

Tag
Share