Cerpen Marhaen Wijayanto: Ifan Belum Merdeka

ilustrasi--

BACA JUGA:Puisi-Puisi Siswa Kelas XI-5 SMA Negeri 1 Sungailiat

Beberapa anak asma terbatuk karena Pak Galak semakin asyik mengepulkan asap rokok di kelas.  Tangan siswa gemetar karena takut dibentak oleh Pak Galak. Tak ada yang protes. Tangan calon pemimpin masa depan yang tak berdaya oleh Pak Galak. Kelas sudah seperti di bawah pohon angker karena tiap orang yang ada di sana tangannya gemetar. 

 

Katanya zaman sekarang bukan hal yang tabu alias biasa. Menampar, mencubit, atau menendang dilakukan demi kebaikan. Dengan hati teriris dan menahan tangis, piala kecil Ifan sembunyikan di balik tas. 

Ifan yang di kelas berjalan ke sana dan ke mari selalu mendapat bentakan dan hukuman. Ia harus bersabar mengungu giliran diapresiasi. Dengan rambut merah karena ia warnai, saat pulang ia harus menghadapi teguran demi teguran dari Pak Galak. 

 

“Aniq, terima kasih sudah mengerjakan tugas, ini hadiah dari saya,” Pak Galak dengan sayangnya memeluk sembari memberi hadiah cokelat pada si Jenius Matematika, Aniq. 

 

“Ozy, ini hadiah buku dari bapak karena kamu mendapat nilai tertinggi ulangan IPA, ya” sembari menyerahkan cokelat kedua pada si Pintar IPA. 

 

Ifan belum juga merdeka. Ia hanya mengharap kapan gilirannya dihargai. Ketika bel istirahat berbunyi, langkah gontai menuju kantin sembari menahan tangis. Ia sungguh berharap dihargai, meski yang dijuarai bukan lomba bergengsi, hanya lomba bulu tangkis. 

BACA JUGA:CERPEN SOFHIE : Kontradiksi

Ifan mengharap pelukan sayang dari Pak Galak, bukan label nakal. Ia ingin mendapat cokelat atau apapun itu meski hanya juara  bulu tangkis. Walau itu  hanya sekadar senyum manis.  

  

Dalam hati Ifan bertanya, apakah hanya anak pintar IPA dan matematika saja yang layak dihargai? Sedang ia  tak ada artinya. Ia pun harus dipaksa sadar diri, si juara bulu tangkis tak layak bersanding dengan si hebat IPA atau si jenius Matematika. 

Tag
Share