Krisis Konstitusi: Matinya sebuah Demokrasi

--

*Oleh: Izcha Pricispa

Mahasiswa Sosiologi UBB Semester 7

 Pilkada yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 ini nyatanya memicu polemik di tengah masyarakat. Hal ini berkaitan dengan putusan Mahkamah Agung yang dianggap hanya menguntungkan segelintir orang.

Padahal Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang perubahan keempat atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 pada Pasal 4 ayat (1) huruf d menyatakan bahwasannya, warga negara Indonesia dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau walikota dan wakil walikota dengan memenuhi persyaratan yakni berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon walikota dan wakil walikota terhitung sejak penetapan pasangan calon.

Namun demikian, berbeda dengan putusan Mahkamah Agung, melalui Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 yang menetapkan bahwa usia paling rendah 30 tahun bagi calon gubernur dan wakil gubernur itu terhitung pada saat pelantikan dan bukan pada saat penetapan pasangan calon yang sebagaimana sebelumnya telah di atur dalam peraturan di atas. 

Putusan ini seakan akan mempunyai algoritma yang sama seperti putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan tersebut juga secara gamblang menunjukkan "kepentingan politik" yang bersembunyi di belakangnya. 

Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menjelaskan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. 

Atas dasar UUD tersebut, kemudian melahirkan Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 yang mana membatalkan Putusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2020. 

Putusan Mahkamah Agung tersebut digadang-gadang akan memberikan kesempatan generasi muda untuk show off dalam dunia politik. Akan tetapi, bukannya show off bagi anak muda namun putusan tersebut lebih kepada memperlihatkan politik dinasti.

Tidak hanya itu, mengutip dari BBC News, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membatalkan pengesahan RUU Pilkada. Artinya, perubahan yang diajukan oleh MK yang mana merupakan angin segar bagi rakyat tidak berlaku untuk pemilu kali ini. 

Padahal pada pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwasannya “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang pemilihan umum”.  

Arrtinya putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Lagi pula sebuah keputusan yang demokratis atau pro rakyat itu sudah seyogyanya di dukung oleh wakil rakyat.  

Hemat penulis, putusan MA dan anulir putusan MK justru membuka pintu yang sangat lebar hanya kepada segelintir orang saja dan bukan diperuntukkan kepada seluruh generasi muda Indonesia. 

Apabila aturan terkait dengan praktik bernegara yang hanya didasari oleh kesukaan seseorang tanpa berlandaskan pada khalayak umum maka akan memicu polemik di tengah masyarakat. 

Tag
Share