Narsisisme Politik Kekuasaan
--
Seturut Goenawan Mohamad (2019), citra yang kemudian hadir dalam foto di baliho itu sebenarnya hanya memperpanjang umur sebuah ilusi. Dalam foto, kamera seakan merekam ”kenyataan” dan bukan ”realitas”. Kita menganggapnya sebagai potret diri. Padahal, kita, dengan memilih angle dan cahaya dan pilihan saat yang baik, sebenarnya hendak mengubah ”kenyataan”. Atau bahkan membuat kenyataan baru.
Ulah artifisial itu tampak dalam mimik muka yang tersenyum, pose dan gestur tubuh, pengenaan kostum dengan segala aksesorinya, hingga penataan latar belakangnya. Sekian faktor itu digarap dengan antusias meski menelan dana besar. Hasrat untuk bisa memperoleh gambar menarik dan pantas dipasang di tepi jalan atau tempat umum lainnya.
Lebih lanjut dikatakan, berfoto di sini bukan sekadar mereproduksi kenyataan, tapi juga membikin metamorfosis karena yang kita kehendaki bukan diri kita, yang kita kehendaki ”representasi” atau ”wakil” diri. Kita tak lagi sekadar ”ada”, tapi ”punya”, dan kemudian ”tampil”. Tampil dengan wajah yang diatur, wajah yang diformat, karena seperti lazimnya, identitas dikemas dari kekurangan. Foto diri menjadi pertaruhan martabat dan kualitas diri yang sarat dengan pamrih politisasi dan hasrat profan.
Dan kini, penghadiran baliho foto diri hadir dalam berbagai aspek kehidupan serta tidak mengenal ruang dan waktu. Para politikus tiba-tiba hadir untuk menciptakan kesan menjadi bagian sesuatu yang telah dicapai atau sesuatu yang akan diciptakan. Semua itu demi penciptaan visual yang artifisial demi pamrih diri dan banalitas citra politis yang nirmakna.
Kinerja
Barangkali politisi memang harus narsis dan harus eksis menggunakan segala momentum politik. Tapi, strategi komunikasi visual semacam itu seharusnya juga menjalin komunikasi dua arah (reciprocal communication) dan public relations. Hal ini untuk menampung feedback dari publik dan untuk membangun hubungan dengan konstituen dengan cara memperlihatkan perhatian atau menunjukkan kinerja nyata dengan kebijakan dan kerja politik yang nyata.
Jika semangat narsisisme masih menyelimuti sanubari politisi, hal itu mengindikasikan masih belum matangnya perilaku politik bangsa kita. Dengannya, masih jauh langkah untuk membangun sistem politik yang demokratis dan terstruktur. Semua ornamen kampanye itu hanya mencerminkan semiotika yang miskin kreativitas, instan, bahkan menjadi sampah visual yang membuat tata ruang kota penuh dengan teror okuler.
Pemilu pun tidak akan mampu menghasilkan wakil rakyat yang mumpuni. Maka, kekhawatiran bahwa lembaga legislatif tidak akan pernah serius memperjuangkan kepentingan dan nasib rakyat seperti kampanyenya bukanlah sebuah fatamorgana. Rakyat membutuhkan wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang senantiasa mengedepankan komitmen dan loyalitas pada kepentingan rakyat. Bukan wakil rakyat atau pemimpin bangsa karbitan dan instan, berpikiran pragmatis, serta suka bersolek atawa narsis! (*)