Politisi Cengeng
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya
SUDAH terjadi di negeri kita ini apa yang pernah dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW: “Apabila suatu pekerjaan (jabatan) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya”.
ADA orang besar karena jabatannya, ketika lepas masa jabatannya maka lepas pula kebesaran yang ia sandang. Ada orang besar karena hartanya, ketika ia jatuh bangkrut maka hilanglah kebesarannya. Ada orang besar karena pesona kecantikan dan ketampanannya, ketika pesona kecantikan dan ketampanannya pudar, maka pudar pula kebesarannya. Ada orang besar karena popularitasnya, ketika popularitasnya redup maka redup bahkan padam pula kebesaran yang ia sandang. Ada juga orang besar karena keturunannya, ada orang besar yang mendompleng kebesaran orang lain, dan ada pula orang besar karena sengaja dibesar-besarkan. Yang paling penting dalam kehidupan adalah menjadi besar karena akhlakul karimahnya. Karena inilah kebesaran yang tidak harus mengeluarkan modal dan bisa dimiliki oleh setiap orang.
Hidup adalah pilihan, bahkan untuk menjadi besar dan kecil sekalipun. Semuanya tergantung dari kesiapan dan pengolahan mental pada diri masing-masing. Ketika hati berkeinginan (bercita-cita) menjadi orang besar tapi berperilaku cengeng dalam setiap menghadapi persoalan bahkan untuk mencapai kebesaran tersebut, maka ketika sudah waktunya menjadi orang besar, perilaku cengeng dalam memimpin sulit untuk dikikis. Ketika orang besar atau orang yang memiliki pengaruh dalam kehidupan sosial berperilaku cengeng, maka akan berimbas kepada tatanan kehidupan sosial masyarakat. Ibaratnya, kalau anak kecil berperilaku cengeng, masih gampang diurus, tapi kalau orangtuanya yang berperilaku cengeng, pasti akan berpengaruh pada tatanan rumah tangga serta psikologi anak-anaknya.
Mental cengeng adalah mental yang tidak siap menghadapai persoalan hidup. Mental yang hanya siap menerima pujian dan segala yang manis-manis saja. Mental yang mendompleng orang lain atau keturunan sedangkan ia sendiri tidak memiliki kemampuan apa-apa. Mental cengeng adalah mental yang tidak berani bertanggungjawab dan selalu menyalahkan orang lain dibalik kegagalan yang ia raih. Mental cengeng adalah perilaku yang tidak senang melihat orang lain sukses dan bahagia melihat jika kawannya atau orang lain gagal. Kalau dalam bahasa gaul sekarang mental cengeng adalah mental SMS (Senang Melihat orang lain Susah dan Susah Melihat orang lain Senang).
Demokrasi Cengeng
PEMILU dan Pilkada 2024 sudah selesai, kecuali Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka yang alhamdulillah dimenangkan Kotak Kosong sehingga Pemilu kembali digelar pada Agustus 2024. Akibat kemenangan Kotak Kosong dari kedua wilayah ini, kembali “nyengol” orang-orang yang “kebelet” ingin menjadi pejabat. Bahasa yang sering kita dengar, “Asak kek ade Pemilu atau Pilkada, ade die nyengol dan ramai di beritakan (membayar media untuk memberitakan diri)”. Namun, jika selesai tahapan demokrasi rebut kursi, ia hilang bagaikan ditelan bumi, tak ada karyanya, tak ada eksistensi dirinya, tak ada aktivitasnya yang layak diberitakan sebab media tak lagi berguna sehingga tak perlu membayar untuk memberitakan kehebatan dirinya. Kegiatan “peduli” kembali disemarakkan, seakan-akan diri sinterklas, desain spanduk dan baliho sudah mulai siap cetak. Yang pasti lobi sana-sini, pendekatan para partai politik serta “silaturrahim” sudah dilakukan. Penjajakan begitu istilah yang dibuat.
Kita akui, pasca reformasi, pesta demokrasi nampaknya salah satu efek negatifnya adalah melahirkan para pemimpin, wakil rakyat dan Kepala Daerah alias politisi bermental cengeng. Lebih parahnya rakyat seperti kita ini juga ternyata tak kalah cengeng hampir setiap menghadapi Pilkada, Pemilu bahkan setelahnya.
Kenapa saya katakan cengeng? Bukan rahasia umum lagi, bahwa seseorang yang menjadi pemimpin atau wakil rakyat harus memberikan ini dan itu kepada pemilihnya. Mengiming-imingi sesuatu berbentuk materi agar rakyat mau mendukung dan memilih dirinya. Bahkan yang lebih parah adalah menjegal lawan politik dengan berbagai isu dan fitnah yang dibuat agar orang lain tidak memilih sang lawan. Apa ini bukan mental cengeng? Jadi, selama mental-mental cengeng masih bercokol di negeri ini, bahkan oleh pemimpin negeri, maka jangan heran kita menjadi bangsa besar bermental kurcaci, badan gajah mental kelinci!
Tak hanya para calon pemimpin atau Wakil Rakyat, tapi yang juga tak kalah parah adalah kita sebagai rakyat. Karena buah demokrasi seperti ini tidak hanya melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang tidak berkualitas, tapi juga menumbuhsuburkan perilaku cengeng dalam kehidupan sosial kita (rakyat). Bagaimana tidak, kita memilih pemimpin atau seseorang karena pemberiannya bukan karena kemampuan atau keyakinan bahwa ia mampu ketika duduk di posisi yang dia inginkan itu. Karena perilaku cengeng suka meminta inilah akhirnya menyebabkan nilai diri kita seringkali hanya dihargai baju kaos, mukena, jilbab, sarung, baju koko, bahkan hal-hal yang berbentuk materi. Perilaku ini terjadi apa bukan karena kita memiliki mental cengeng?
Generasi muda kita sebagai penerus keberlangsungan negeri ini di masa yang akan datang pun sudah terkontaminasi dan dididik dengan perilaku-perilaku cengeng, baik oleh para seniornya maupun karena memang dasarnya sudah berperilaku cengeng. Tidak sedikit para generasi muda kita yang menghambakan diri kepada orang-orang berduit walau ia tahu bahwa orang yang dihambakan itu berperilaku bejad, licik, bukan orang yang layak dan kemampuan hanya 1 ons tapi dicitrakan 10 kg. Anak-anak muda dididik menjadi penjilat demi syahwat politik.
LSM atau organisasi kemasyarakatan bahkan keagamaan kita pun kerapkali berperilaku cengeng dengan hanya mampu melakukan sesuatu dengan menjadi pengemis (menebar proposal) demi mengharapkan uang receh dari pengusaha dan penguasa. Parahnya lagi, mental dan perilaku cengeng itu ditunjukkan dengan memilih, mendukung dan memuji-muji orang yang membantu secara materi tersebut. Inilah salah satu jawaban mengapa di Bangka Belitung ini saya tidak berniat masuk atau mau menjadi pengurus organisasi apapun.
Wajar saja jika kehancuran negeri salah urus atau Republik Tulah ini sudah begitu mengakar dalam setiap urat nadi kebangsaan kita. Sistem hukum dan bernegara kita pun semakin kacau balau tanpa tahu lagi mana yang benar mana yang salah. Parahnya media massa pun kerapkali menjadi pengadilan publik, begitu gampang menghitam-putihkan seseorang sesuai dengan pesanan atau keinginan. Oleh karenanya tidaklah heran dalam kondisi seperti ini orang yang dicela, dituduh bahkan di penjara itu belum tentu orang-orang salah, dan kita-kita yang berada diluar penjara belum juga tentu adalah lebih baik dari mereka-mereka yang ada di penjara atau pernah di penjara. Perilaku aparat hukum kita sudah tidak dapat dipercaya, karena uang dan jabatan sudah terlalu berkuasa akibat para penegak hukum bermental cengeng. Oleh karenanya akibat kondisi “perkeliruan” di negeri ini, orang-orang yang baik harus terpinggirkan di sudut-sudut kehidupan. Jika ada sosok atau kelompok yang bagus dan berkompeten ingin berbuat, maka siap-siap untuk menghadapi buasnya kekuasaan uang dan jabatan. Karena sudah terjadi di negeri kita ini apa yang pernah dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW: “Apabila suatu pekerjaan (jabatan) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya”.