Timah itu Berkah Sekaligus Kutukan? Babel Tercemar Radiasi Nuklir?

Rabu 10 Jul 2024 - 21:00 WIB
Reporter : Tim
Editor : Syahril Sahidir

Apalagi kini aktivitas penambangan timah, juga telah mencemari sungai-sungai. Hampir tidak ada di Babel, air sungai bening seperti tahun 1970-an. Air sungai ini, mengalir jauh. Air sungai juga masih masih digunakan oleh masyarakat Babel dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Seperti mencuci pakaian dan mandi. Beberapa penambang pun sadar bahaya radiasi nuklir yang akan mereka alami. Salah satu cara yang dilakukan penambang timah di darat, dengan membungkus kemaluan mereka dengan plastik, sehingga tidak tertembus air. Apabila kena air semprotan mesin, menurut mereka berbahaya impotensi.

Prof Dr. Drajad Susilo Wisnubroto, ahli nuklir dari BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) dalam wawancara tertulis (Rabu, 9 Juli 2024) dengan penulis mengatakan begini. Penggunaan istilah "Babel sudah tercemar nuklir" itu terlalu bombastis. Ia akan menjadi pembicara dalam International Conference on Radiation Safety (ICORS) bulan Oktober mendatang bertemakan “Radiation Safety in The 21st Century: Collaborative Approach for Global Challenges”.

Menurutnya, sebagian lokasi di Bangka Belitung memang kemungkinan mengalami kontaminasi dari limbah penambangan timah yang mengandung bahan radioaktif alami yang konsentrasinya meningkat (TENORM). Namun, ini berbeda dengan kontaminasi nuklir besar seperti yang terjadi di Fukushima (Jepang) atau Chernobyl (Rusia). Penting untuk melakukan penelitian dan pemantauan lebih lanjut untuk memahami dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Meskipun ada kontaminasi radioaktif dari limbah penambangan timah (TENORM) di Bangka Belitung, konsentrasinya biasanya jauh lebih rendah daripada kontaminasi dari kecelakaan reaktor nuklir tersebut. Dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia juga berbeda secara signifikan.

Sebaiknya menggunakan terminologi yang lebih tepat untuk menggambarkan situasi di Bangka Belitung. Misalnya, "kontaminasi TENORM" atau "pencemaran radioaktif alami yang ditingkatkan oleh aktivitas manusia" daripada "tercemar nuklir." Untuk memahami tingkat pencemaran dan risikonya, diperlukan pemantauan dan penelitian yang terus-menerus. Ini termasuk pengukuran konsentrasi bahan radioaktif di air, tanah, dan udara serta studi dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.

Namun Prof Drajad memberikan catatan: TENORM (Technologically Enhanced Naturally Occurring Radioactive Material) adalah bahan radioaktif alami yang konsentrasinya meningkat akibat aktivitas manusia seperti penambangan timah. Ini berbeda dengan kontaminasi akibat kecelakaan nuklir besar seperti di Fukushima atau Chernobyl yang melibatkan bahan bakar nuklir dan isotop radioaktif dalam jumlah besar.

Togap Marpaung sebagai seorang mantan pejabat fungsional pada Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), memberikan tanggapan singkatnya ketika diminta penulis soal radiasi nuklir di wilayah Babel. Pertama, dia tidak setuju jika disebut istilah  keracunan radiasi. Menurutnya, radiasi interna masuk ke tubuh manusia melalui jalur pernafasan (intake) dan kulit. Misalnya bekerja dengan  sumber radioaktif di Rumah Sakit  yang menggunakan kedokteran nuklir, atau bekerja di laboratarium, bekerja ditambang uraniun dan thorium. Masih menurut Togap, radiasi eksterna memapari tubuh manusia melalui pancaran radiasi, misalnya pemeriksaan radiologi (paru, abdomen, gigi dan lainnya).

Pada tambang timah menurut Togap, ditemukan radioaktif alam berupa Th atau U. Namun kandungan Th lebih banyak. Radioaktif U n Th yang masih berada di alam disebut NORM (Naturally Occurring Radioactive Material). Radioaktif tersebut yang sudah menjadi tailing timah misalnya disebut TENORM (Technologically Enhanced NORM). Lalu menurut Togap, TENORM harus dikelola sebagai radioaktif alam atau menjadi limbah radioaktif yang tidak boleh dibuang sembarangan.

Masih menurut Togap, TENORM Th berpotensi menjadi bahan bakar pembangkit listrik, PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium). Tetapi belum suatu proven technology, masih  "angan-angan". PLTT aman dibandingkan PLTN. Sayang rencana Babel membangun PLTT bersama ThorCon International tersendat, karena Presiden Jokowi tak bergeming. Sehingga investasi senilai Rp 17 triliun itu tak kunjung terealisasi.

Beberapa aktivis mencoba menguji ampas pasir timah yang telah dijadikan bangunan. Apakah masih ada radiasi nuklir dalam tembok rumah penduduk. Affan Pentiaw, seorang otodidak nuklir di Pangkalpinang Bangka pernah bercerita kepada penulis. Ia mengajak petugas PLN Pusat untuk menyaksikan aksi dirinya menyalakan lampu listrik dari nuklir yang melekat pada pasir bangunan. Ia mempertunjukan pemasangan kabel min dan plus pada tembok rumah dinas Gubernur Babel di Pangkalpinang. Alangkah terkejutnya PLN, bola lampu itu menyala setelah terhubung kabel min dan plus yang tertancap pada tembok rumah dinas Gubernur tersebut. Artinya, dalam pasir yang sudah jadi bangunan rumah saja masih terdaftar nuklir yang secara otomatis berdampak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Babel.

STOP TAMBANG TIMAH?

Sedemikian parahnya, dampak lingkungan hidup yang didera masyarakat Bangka Belitung. Apakah Pemerintah Daerah Pusat hanya diam berpangku tangan, dan membiarkan semua itu terjadi? Menurut penulis, Pemerintah terkejam kalau membiarkan semua itu terjadi tanpa melakukan tindakan yang masif, terukur, dan sistematis. Pemerintah bersama BRIN dan Bapeten harus bekerja sama melakukan riset mendalam, sejauh mana dampak radiasi nuklir dalam kehidupan masyarakat Babel sebagai akibat tambang timah.

Jika memang benar radiasi nuklir sudah pada tingkat membahayakan kehidupan masyarakat Bangka Belitung, mau tidak mau, suka tidak suka, maka tambang timah harus distop di seluruh wilayah Bangka Belitung tanpa kecuali. Atau Pemerintah dan PT Timah Tbk dan perusahaan tambang swasta bersedia mengganti kerugian lingkungan hidup yang diderita masyarakat Bangka Belitung senilai Rp 271 triliun.

Ganti rugi bisa beragam. Salah satunya, masyarakat Babel, harus diberikan fasilitas berobat gratis tanpa BPJS. Iuran BPJS harus dibayarkan oleh perusahaan timah. Berobat gratis pun tidak terbatas pada penyakit tertentu saja. Pokok semua fasilitas kesehatan dan rumah sakit tidak perlu bayar, karena sudah ditanggung oleh perusahaan tambang timah. Baik perusahaan timah BUMN maupun swasta.

Kemudian, perusahaan tambang timah dituntut untuk menangani ampas timah (tailing) secara benar dan profesional. Sehingga lingkungan hidup Babel tidak tercemar lagi. Jika semua itu tidak dilakukan, maka lebih baik tambang timah di Babel ditutup saja untuk selamanya. Daripada anak-anak Babel lahir dalam kondisi cacat jasmani dan rohani akibat limbah nuklir yang diakibatkan tambang timah yang dikelola secara sembarangan.

Pemerintah harus tegas dalam hal ini. Soal nasib masyarakat seperti ini, jangan main-main. Ini bukan hal yang bisa dinegosiasikan. Tapi solusi yang harus diambil bersifat mutlak. Tidak ada tawar-menawar dengan perusahaan tambang maupun dengan smelter. Jangan sampai pengusaha-pengusaha kaya dan pejabat yang menikmati keuntungan timah, tetapi membiarkan hidup masyarakat terabaikan dalam problematika “nuklir” menjadi “asupan” sehari-hari masyarakat Babel. Tetapi penulis yakin, masih ada harapan untuk berbenah total dalam dunia pertimahan di Babel. Bravo Babel.***

Kategori :