CERPEN MARHAEN WIJAYANTO: Buku Tanpa Aksara

Minggu 19 Jan 2025 - 09:44 WIB
Editor : Budi Rahmad

“Negara ini semakin ke sini lupa tentang pluralisme. Fanatisme seperti itu yang kurang cocok dengan Indonesia,” ujar Ustadz Cangkul.

 

Kakek  menghisap rokok kretek yang sudah diisapnya sejak empat puluh tahun lalu. Sembari  memandangi Laras, beliau terkekeh mendengar umpatan Pak Ustaz Cangkul. Laras menyimak omongan Pak Ustaz Cangkul, lalu ia mengambil  kertas lain dan melihat Pak Guru TPA-nya itu marah-marah pada berita di koran.

BACA JUGA:Cerpen Karim Abudzar Papinda, SDIT Qurani Adh Dhuhaa Pangkalpinang: Nganggung Kek Kawan-kawan

 Utung saja di hadapan Pak Ustadz Cangkul ada kopi, hingga akhirnya omelan beliau berakhir dengan tawa riang bersama kakek.  

 

“Lho, Laras tidak jadi liburan ya? Aduh sedihnya yang gagal ringking satu, hehe.. semangat!” ujar Pak Ustadz Cangkul sambil tersenyum menghibur ke arah Laras.

 

“Dari dulu, sistem pendidikan kita memang tak berubah. Sudah jelas sistem peringkat itu model lama, tapi tetap saja masih dipakai,” ujar kakek.

 

“Peringkat kelas itu hanya penyemangat. Nilai sesungguhnya saat anak hidup di masyarakat sebagai orang dewasa yang wajar. Apakah dia akan berguna di sekitarnya atau jadi beban untuk kanan-kirinya,”jawab Pak Ustadz Cangkul. 

BACA JUGA:Cerpen Angel Lee, SMP Bahagia Pangkalpinang: Jejak-Jejak di Belakang

“Masyarakat sangat awam dengan pandangan itu.  Peringkat kelas akan menghalangi prinsip kolaborasi dan gotong royong. Tak heran banyak dari kita tumbuh dengan saling menjatuhkan, bukan kolaborasi lagi! Peringkat kelas tergantung dari guru yang  memberi nilai saja, Pak John. Mungkin karena gurunya senang dengan si peringkat satu itu, maka dia dapat nilai lebih daripada si Laras itu,” ujar Pak Ustaz Cangkul. 

 

“Apa karena satu nilai lima puluh, peringkat pertama yang seharusnya milik Laras harus berpindah tangan? Dia mewakili sekolah memenangkan lomba. Tentu tak mudah menang di kompetisi itu,” ujar kekek.

 

Kategori :