BATU BERANI DAN BIJIH BESI DI PAKUK

Elvian--

BACA JUGA:RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK (Bagian Empat)

Wilayah Pakuk pada masa pemerintahan Sultan Kesultanan Palembang Darussalam, Muhammad Bahauddin (masa pemerintahan Tahun 1776-1803 Masehi), sekitar Tahun 1792 Masehi, mengalami masa yang sulit karena merajalelanya perampokan terhadap pangkal-pangkal pusat penambangan Timah milik kesultanan yang dilakukan oleh perompak laut yang menamakan diri “Rayad” dari Siak dan juga mengganasnya para perampok yang menamakan dirinya dengan sebutan Lanun (Elvian, 2016:81). Melalui benteng inilah (maksudnya benteng Mulut di sungai Kepo), bajak laut Illanun melancarkan serangan dari Kapo Lama di pesisir Timur pulau Bangka memutar secara ekstrem ke wilayah pesisir Barat pulau Bangka dan menjarah kawasan Toboali dan kampung-kampung di sekitarnya. Penjarahan dan perampokan bajak laut Illanun kemudian meluas juga di wilayah Pesisir Timur pulau Bangka ke wilayah Koba, Kurau, Pangkol (dekat Pangkalpinang) dan kemudian menyerang daerah pedalaman di Pakuk, tempat penduduk mengusahakan Besi. Perampokan bajak laut terhadap wilayah Paku, menyebabkan penduduk lari ketakutan dan bersembunyi di dalam hutan, penambangan Besi di wilayah Paku kemudian terbengkalai dan tidak dilakukan lagi oleh masyarakat. menyerang pemukiman penduduk asli dan daerah yang penting dan luas di Paku dan mengulangi kebiadaban yang dilakukan di Toboalih (Toboali). 

Menurut laporan yang saya terima di pemukiman yang tersisa terdekat dari Pangkalpinang dan Tirak beberapa ratus keluarga telah direnggut (dirampok) di pemukimannya, tapi jumlah terbesar tewas di hutan akibat  kelelahan dan kelaparan; mereka melarikan diri ke distrik Utara (dari Pangkalpinang, Tirak (Terak), Depa, Marawang dan Sungailiat) dimana mereka menemukan tempat berlindung dari ancaman. Depati Paku tewas dalam serangan itu; penerusnya banyak kini bermukim di Tirak (Horsfield, 1848:317). Besi dari wilayah Pakuk di samping sebagai upeti kepada sultan Palembang, digunakan untuk pembuatan peralatan seperti Parang, Keris, dan peralatan kesenian seperti Tawak tawak serta sangat penting untuk pembuatan meriam. Seorang yang ahli dalam pembuatan Meriam adalah Raden Keling, yang diangkat oleh sultan Muhammad Bahauddin sebagai kepala rakyat di Toboalih. Buktinya namanya ditoreh pada meriam yang ditemukan di Thailand yang jauh dari Palembang Darussalam bertarikh 1225 H atau 1811 Masehi (alamat Raden Keling ibnu Raden Prabu Jaya fi Baladi Palembang Darussalam sanad 1225 atau 1811. Meriam dan pelurunya dibuat dengan Besi berkualitas yang diperoleh dari daerah Paku di pulau Bangka dan Besi dari pulau Belitung.

Pada masa pulau Bangka berada di bawah kekuasaan Inggris (Tahun 1812-1816 Masehi), wilayah Paku (Pakoo) bersama wilayah Sungaiselan (Godong Selan), wilayah Bangkakota (Old Settlement of Banko Kotlo), Permis (Permissang) dimasukkan ke dalam wilayah south east division (divisi Tenggara) bersama-sama dengan wilayah Pangkalpinang (stockade of Pangkal Penang), Koba (Koba), dan Olim (Oolim). Selanjutnya setelah traktat London dan penyerahan wilayah Bangka dari Inggris ke Belanda, dalam Kaart van het Eiland Banka 1819 dan Kaart van het Eiland Banka en de rivier van Palembang, Majoor Adjhaff, wilayah Depati Pakuk tampaknya dimasukkan dalam wilayah distrik Toboaly. Toboalih pada masa ini terbagi atas Tiga depati yaitu Depati Permesang, Depati Balar dan Depati Pako. Terdapat beberapa kampung dalam wilayah Depati Pakuk waktu itu seperti Toboali, Medang, Kepo, Bayor, Bunot, Kalar, Jelanding, Pinang, Sinouam, Jeramay, Randang, Mloemoet, Oular, Nouspaparit, Koba dan Katepadang. Pada saat perang Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir (1848-1851 Masehi), kampong Pako atau Pakuk juga dijadikan sebagai pusat gerilya dan persembunyian Depati Amir. 

Setelah Perang Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir, data tentang Pakuk dapat dipelajari dari catatan tentang distrik Koba. Tampaknya pada masa ini wilayah Pakuk sudah dimasukkan dalam wilayah Distrik Koba. Dalam catatan Franz Epp, Schilderungen aus Hollandisch-Ostinden, Heidelberg, J.C.B. Mohr, 1852, halaman 209 dan halaman 212, bahwa Jumlah penduduk di distrik Koba sebesar, 2.332 orang, terdiri atas Pribumi Bangka (Bankanese) 1.971 orang, Melayu (Melajen) 52 orang, China (Chinesen) 309 orang. Penduduk mendiami sekitar 42 kampung di Tiga wilayah, yakni di Koba terdiri atas 14 kampung, di Pakko (Paku) terdiri atas 20 kampung dan di Kayuara terdiri atas 8 kampung. Di ibukota Koba/Kubak ditempatkan Satu administrator Orang Eropa dan sejumlah kecil tentara. Koba/Kubak berpenduduk 1.029 orang, Pakko (Paku) 833 orang dan Kayuara 238 orang, serta terdapat 232 orang penduduk yang tinggal diberbagai tambang.***

 

 

Tag
Share