BALAI GEMEENTE DI JALAN BALAI

Akhmad Elvian-screnshot-

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

  

PADA masa Residen Bangka pertama yang bertugas di Pangkalpinang,  A.J.N. Engelenberg (memerintah Tahun 1913-1918) mulailah dibangun berbagai fasilitas publik dan fasilitas pemerintahan. 

----------------

PADA sektor  pemerintahan,  Pemerintah Hindia Belanda melakukan pembenahan dengan membentuk Gemeente-gemeente di 10 Distrik di Pulau Bangka termasuk di Distrik Pangkalpinang. Pada Tahun 1916 Masehi, Residen  A.J.N. Engelenberg membentuk Satu komisi berdasarkan Keputusan Nomor 200, Tanggal 

17 Juni 1916, yang beranggotakan 6 (enam) orang Demang yaitu, Raden Achmad, Demang Terbeschikking (Demang Pembantu Residen), Raden Moehammad Umar Demang Mentok, Abdul Hamid Demang Koba, Mangaraja Enda Demang Merawang, Abang Moehammad Demang Pangkalpinang dan Abang Abdul Rasjid Demang Jebus. Komisi ini bertugas untuk mendirikan Gemeente di tiap-tiap kampung dengan tujuan agar masing-masing kampung di Pulau Bangka yang merupakan sebuah kesatuan masyarakat hukum (volkgemeenschappen) memiliki hak adat istiadat dan asal usul serta budaya yang tidak bertentangan dengan undang-undang (ordonansi) Pemerintah Hindia Belanda. 

Berdasarkan Inlandshe Gemeente Ordonantie dan Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten, keberadaan Gemeente kemudian diakui sah oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu itu terdapat sekitar 163 Gemeente di Pulau Bangka termasuk di Pangkalpinang yaitu Gemeente Gabek dan Gemeente Pangkalpinang. Wilayah Gemeente Gabek dan Gemeente Pangkalpinang inilah yang di kemudian hari berkembang menjadi wilayah Kota Kecil Pangkalpinang yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 6 Tahun 1956 tanggal 14 November 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Kecil dalam lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Selatan. Pada waktu itu Kota Kecil Pangkalpinang hanya memiliki luas 31,7 km², dengan batas-batas wilayahnya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Directeur Binnenlands Bestuur, Nomor 2615/Btg, tanggal 30 September 1919. 

Orang Bangka sering menyebut Gemeente dengan sebutan Haminte. Pengaturan tentang keberadaan Gemeente bertahan cukup lama dan baru diganti dengan terbitnya Undang Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Berdasarkan undang-undang ini, desa ditempatkan sebagai Daerah Tingkat III dengan sebutan Desa Praja. Terdapat kesamaan antara pengaturan  Inlandshe Gemeente Ordonantie  dan  Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 1965 dalam hal menentukan desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum (volkgemeenschappen) yang memiliki hak adat istiadat dan asal usul. Dengan demikian berdasarkan peraturan perundang-undangan ini, nama, jenis, dan bentuk serta karakteristik desa sifatnya tidak seragam, namun undang-undang ini tidak pernah terimplementasi pada masa Orde Baru.

Pada masing-masing Gemeente di Pulau Bangka yang jumlahnya 163 Gemeente dan untuk mengatur kesatuan masyarakat hukum (volkgemeenschappen) yang memiliki hak adat istiadat dan asal usul serta budaya yang tidak bertentangan dengan undang-undang (ordonansi) Pemerintah Hindia Belanda dibangunlah Balai Gemeente yang fungsinya hampir mirip dengan balai-balai adat yang didirikan pada tiap-tiap kampung di Pulau Bangka masa Kesultanan Palembang Darussalam. Pada Balai Gemeente segala persoalan hak adat istiadat kampung serta peran masyarakat dalam pengelolaan kampung agar masyarakat dapat hidup tenteram dan nyaman diatur dan diselesaikan di Balai Gemeente yang dilakukan oleh beberapa tokoh dari kalangan pemerintahan dan bumiputera yang terpilih dalam lembaga Gemeenteraad. Dalam tataran lokal, partisipasi warga dapat dilakukan melalui gemeenteraad yang merupakan bentuk otonomi di tingkat lokal untuk mengatasi permasalahan publik. Tujuannya adalah untuk menjamim kualitas hidup baik bagi setiap warga di perkotaan (Achdian 2020: 98-104; Yuliati 2022: 76-77). Gemeenteraad dalam pemerintahan berfungsi seperti lembaga legislatif yang mampu merepresentasikan perwakilan dari setiap golongan etnis. Gemeenteraad dibentuk dengan para anggota yang mewakili golongan Eropa, bumiputera, dan Timur Asing. Pemilihan anggota gemeenteraad diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 586

Salah satu Balai Gemeente yang masih tersisa di Distrik Pangkalpinang yang cukup terkenal pada masa Pengasingan Pemimpin Republik di Pulau Bangka, masa antara Tanggal 22 Desember 1948 sampai tanggal 6 Juli 1949 atau pada masa setelah Agresi militer Belanda Kedua adalah Balai Gemeente Pangkalpinang. Balai Gemeente Pangkalpinang terletak pada jalan yang kemudian diberi nama oleh masyarakat Pangkalpinang dengan “Jalan Balai”. Pada lokasi Balai Gemeente di Jalan Balai inilah terjadi beberapa peristiwa sejarah penting dalam bentuk pertemuan besar atau rapat umum rakyat dengan pemimpinnya, bagaimana interaksi masyarakat Pangkalpinang dengan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia yang diasingkan di Pulau Bangka. Presiden Sukarno sejak diasingkan ke Bangka dari Parapat Danau Toba Tanggal 5 Februari 1949, sangat sering bertemu masyarakat dalam rapat-rapat umum, ceramah agama, mimbar jumat, upacara adat pesta panen padi dan acara olah raga yang diselenggarakan masyarakat. Waktu itu ada rapat raksasa di Balai Haminte (gemeente) di Kota Pangkalpinang. Aku pun ikut hadir. Di sekeliling balai itu orang bersesak-sesakan dan berdesak-desakan. Suasananya ribut sekali. Tetapi tatkala Pak Karno akan memulai pidatonya, keadaannya menjadi tenang. Seperti sediakala Pak Karno mengucapkan pidatonya dengan berapi-api, membangkitkan semangat dan kesadaran berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu (Bakar, 1993:48), demikian tulisan A A Bakar dalam bukunya Kenangan Manis dari Menumbing.

Kedatangan pemimpin Republik dari tempat pengasingan Mentok ke Pangkalpinang selalu disambut dengan antusias oleh Masyarakat. Pada tanggal 12 Februari 1949, masyarakat Pangkalpinang mengetahui kedatangan Ir. Sukarno di Pangkalpinang untuk menghadiri  konferensi dengan delegasi dari Komisi untuk Indonesia (UNCI). Namun, sebagian besar masyarakat meragukan kedatangannya karena telah kecewa sebelumnya dan pemberitaan pers dan radio mengenai tindakan yang diambil terhadap Ir. Sukarno dalam kaitannya dengan ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Ketika diketahui secara pasti bahwa Ir. Soekarno memang telah meninggalkan Mentok, beberapa orang berusaha menggugah masyarakat untuk hadir menyambut kedatangan Soekarno. Dalam waktu terlalu singkat, sekelompok masyarakat Pangkalpinang berbaris di pinggir jalan. Sementara polisi bertindak ketat sepanjang rute yang dilalui rombongan pemimpin Republik Indonesia. Mereka lantas berteriak  "merdeka" dengan lantang dan  keras saat mobil-mobil itu lewat. Pada malam harinya masyarakat berkumpul di depan gedung bioskop untuk menyambut keluarnya Muhammad Hatta dengan berteriak "merdeka." Mereka menginap di Pangkalpinang dan kembali ke Mentok keesokan harinya atau tanggal 13 Februari 1949 jam 15.00 WIB. Berita ini ditulis oleh harian “Pembangunan Bangka-Belitung” sebagai berikut: “Kunjungan UNCI di Bangka, Hari Sabtu yang lalu, Penjagaan polisi pada djalanan-djalanan juga menjurus ke gedung tersebut (Househill BTW) dilakukan dengan aktif, sehingga pertemuan itu dapat berjalan dan tidak mendapat gangguan dari suara-suara berisik di jalan umum, ataupun terbebas dari kerumunan rakyat, juga dari paginya telah tampak mulai tidak tenang. Anggota-anggota Komisi Jasa-Jasa Baik enz…” (Dikutip ulang dari Sitrap No 8 tahun 1949). 

Anak Agung Gde Agung dan beberapa tokoh BFO yang datang untuk kedua kalinya ke Bangka pada Tanggal 3 Maret 1949 sebagai pemimpin BFO, dan begitu terkesan melihat dukungan rakyat Bangka terhadap pemimpin di Bangka. Dalam kunjungannya ke Pangkalpinang, Ia menyaksikan sendiri, bagaimana rakyat Bangka menyambut Hatta dan Soekarno ketika mereka hendak mengadakan pertemuan di kota itu. Di sepanjang jalan yang dilewati, Presiden dan Wakil Presiden RI dielu-elukan dan mobil yang mereka tumpangi sering dihentikan rakyat hanya karena mereka ingin bersalaman dengan kedua pemimpin itu. Tetapi pemandangan semacam itu tidak hanya terjadi sekali atau dua kali saja. Rakyat dan para pemuka masyarakat setempat berdatangan menyalami Soekarno-Hatta dan menyampaikan berbagai macam bingkisan sebagai tanda simpati mereka kepada pemimpin Republik yang ditawan itu (Zed, Mestika, 1997:257). 

Balai Gemeente Pangkalpinang pada tanggal 5 Juli 1949 menjadi saksi bisu dan penanda sejarah peristiwa penyerahan bantuan uang sebesar f.90.170,18 untuk pembangunan Ibukota Yogyakarta dan menjadi lokasi kembalinya Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Sukarno-Hatta beserta pemimpin republik yang diasingkan di Bangka ke ibukota Yogyakarta tanggal 6 Juli 1949. Seloka yang menggelorakan dan menggetarkan semangat disampaikan Proklamator Bung Karno pada pidato perpisahan dengan rakyat Bangka tanggal 6 Juli 1949 atau bertepatan dengan tanggal 9 Ramadhan 1368 Hijriah (Bulan Kemenangan): “Dari Pangkalpinang, Pangkal Kemenangan Bagi Perjuangan”, diucapkan dihadapan sekitar 3000 rakyat Bangka di halaman Balai Gemeente (Haminte) Pangkalpinang (Jalan Balai). 

Tag
Share