CERPEN MARHAEN WIJAYANTO: Rafli Belum Merdeka
ilustrasi-babelpos-
DIA bersorak girang sembari berjalan dengan senyum. Loncat-loncat kecil mengajak orang di sekitarnya untuk kagum. Bendera kecil merah putih plastik dikibar-kibarkan. Sama seperti seragam merah putih lusuh yang ia kenakan, bendera itu mewakili hati yang penuh riang. Dia sedang bahagia. Dari wajah polos kusam berdebu itu terlihat tak seperti hari-hari biasa.
Namanya Rafli. Sama halnya debu yang mengabarkan bahwa sekarang musim kemarau, tapi itu tak mengurangi tekadnya untuk mengabarkan berita gembira pada siapapun.
BACA JUGA:CERPEN RUSMIN SOPIAN: Hari Ini, Ada Berita OTT di Surat Kabar
Senyum itu tak seperti biasa, lebih hebat dari apapun. Ia tak jua berhenti tertawa riang, meski semua orang tahu, kadang anak kecil semacam dia tak memliki beban pikir.
Beda dengan orang tua yang antara bahagia dan sedih tak lagi tampak bedanya, antara yang berakal dengan yang pikun juga semu.
Seratus meter ia melangkah dari gerbang menuju halaman sekolahnya. Hanya sekadar ingin memberi kabar luar biasa, kakaknya diterima sebagai salah satu pengibar bendera di istana.
Satu persatu kabar itu ia teriakkan ke telinga temannya. Betapa Rafli bangga punya kakak yang membuatnya semakin gembira. Membisikan, meneriakkan, lalu mengutarakan, si hebat pembawa bendera di istana adalah kakak tercinta.
“Hey, Badut! Tumben kau gembira! Apa habis menang lotre gosok-gosok?” tanya seorang kakak kelas yang mengolok Rafli.
BACA JUGA:CERPEN: Tak Ada Lagi Lahan Kosong untuk Kuburanku Nanti
Di sekolahnya ada orang berjualan gosok gambar. Permainan itu digemari siswa, tapi karena mengandung unsur judi, maka seketika penjual itu diusir oleh orang tua siswa.
“Sini, wajahmu itu yang kugosok, biar kita dapat duit banyak siang ini! haha.”
Beberapa orang meniru tukang gosok-gosok sembari teman lain terbahak.
Olokkan kakak kelas semakin menjadi, tapi kali ini Rafli acuh. Dia tak peduli karena yang di otaknya adalah kakaknya yang jadi pengibar bendera di istana. Kakaknya, kakaknya dan kakaknya.
Rundungan dan bully-an hari itu ia anggap angin lalu. Padahal hal itu selalu saja mengganggu perasaan dan semangatnya. Di sekolah ia seperti benalu. Tapi tidak untuk hari itu. Hari itu saja. Rafli menang karena semua orang harus mendengar prestasi hebat kakaknya.