Nyengol & Keringol

Ahmadi Sopyan-screnshoot-

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial

     “Asak kek pilkada ade ikak nyengol, 

    asak lah tepileh lah laen uman keringol”.

---------------

TAK dipungkiti, sampai hari ini wajah pelaku demokrasi kita masih semu dan penuh pencitraan sesaat. Bagi saya yang tidak paham demokrasi apalagi soal pencitraan, yang namanya calon Kepala Daerah dan calon Anggota Dewan disaat pemilihan itu mirip-mirip dengan calon menantu. Kalau belum mendapatkan sang pujaan hati, sang calon menantu hampir tiap hari menyambangi rumah sang calon mertua. Setiap dibutuhkan selalu ada waktu dan tak pernah ada kata menunda apalagi tak bisa. Sang calon menantu berusaha menampilkan diri yang terbaik dan mencuri perhatian sang calon mertua agar dinilai sebagai calon menantu terbaik sehingga tak salah pilih bagi pendamping hidup anaknya sekaligus bagian terpenting dari keluarga besar mereka. 

Tapi setelah sah “dilantik” menjadi menantu oleh sang Penghulu dan seiring perjalanan waktu, sang menantu sudah kelihatan watak aslinya. Rumah mertua jarang didatangi (kecuali yang memang tinggal serumah dengan mertua). Ketika dimintai pertolongan selalu saja ada alasan untuk menunda bahkan tidak bisa plus menggerutu. Sang mertua kini tak manis lagi rupanya dimata sang menantu bahkan dianggap sebagai beban keluarga kecilnya. Maka muncullah kalimat orang Bangka yang cukup keras menyindir anak dan menantunya: “Anak jadi kuntilanak, menantu jadi hantu”. Kira-kira begitulah yang terjadi dengan para calon Kepala Daerah yang sedang mencalonkan diri, setiap hari melakukan pendekatan guna mencari perhatian rakyat jelata dan bagaikan sinterklas guna menjadi dewa penolong disaat rakyat membutuhkan. Setelah itu…. bagaikan hantu ia menghilang. Jangan tanya kenapa dan jangan tanya pula kepada rumput bergoyang, karena ia pasti tak kan mampu menjawabnya.

Tak pernah dorong kursi roda orang sakit, tiba-tiba nongol di halaman muka media dengan mendorong pasien. Yang biasanya susah ditemui, tiba-tiba open house hingga tengah malam bahkan 24 jam. Yang biasanya selalu tak ada ditempat, kini rajin mendatangi rakyat. Yang biasanya tak peduli, gampang sekali bertanya dengan kalimat “apa yang bisa dibantu”. Yang biasanya egois dan hanya kumpul dengan kalangan elit, mendadak rajin dan gampang meneteskan air mata. Yang biasanya sulit disalamin, kini kasih pelukan hangat ke tubuh rakyat. Yang biasanya tak bertegur sapa sekarang ramahnya bagaikan abdi dalem sebuah kerajaan yang siap melayani segala kebutuhan dan suruhan sang raja. Yang biasanya tak pernah bikin ucapan belangsungkawa ketika ada rakyat yang berduka, kini karangan bunga sebesar dinding rumah menempati halaman rumah duka. Yang biasanya jarang ke Masjid, kini kelihatan alim “mendadak ustadz”. 

Kalau sudah terpilih, kalau sudah duduk, kalau sudah menjabat apa yang terjadi? Mana kepedulian saat menjelang pemilihan? Mana keramahan dengan senyuman mereka alias gigi “ngeringeng” setiap ditemui rakyat? Masih adakah pertanyaan “ape yang pacak dibantu?”. Masih berlanjutkah sholat subuh keliling Masjid di kampung-kampung? Masih adakah kursi roda pasien didorong? Masih ikhlaskah mendekap hangat tubuh rakyat miskin jelata? Masih rajinkah menyapa rakyat di kampung-kampung dan pelosok desa nun jauh dari hiruk pikuk kota? Masih adakah pembagian kain sarung ke kampung-kampung setiap menjelang lebaran yang tak perlu ditukar dengan selembar KTP? Masih aktifkah nomor handphone yang dipakai saat kampanye ataukah sudah berganti seratus kali nomor handphone agar tak mudah dihubungi rakyat? 

Sudah berulangkali Pilkada dan setiap 5 tahun sekali kita melakukan pesta demokrasi bernama Pemilu yang memilih para wakil rakyat di parlemen, namun berulangkali juga terjadi rakyat hanya dibutuhkan disaat pemilihan. Rakyat bagaikan raja hanya disaat-saat menjelang Pilkada dan Pemilu saja. Setelah itu, tak ada lagi yang dibutuhkan dari rakyat, bahkan sadisnya rakyat dianggap sebagai beban. Kehadiran rakyat yang mengadu kesusahan dan persoalan hidup bagaikan debt colector yang harus dihindari sebisa mungkin. Rakyat adalah beban, persoalan rakyat membuat kehidupan mereka menjadi tak nyaman dan sebisa mungkin harus menjauhkan diri dari rakyat, walaupun mereka menyandang titel “wakil rakyat” dan “pelayan rakyat”.

Jangankan persoalan rakyat secara pribadi seperti sakit, anak tak mampu sekolah, musibah datang tiba-tiba, persoalan rakyat secara umum pun tak lagi ada rasa peduli dari “sang wakil” dan “sang pelayan”. Sehingga rakyat pun mengeluh, menggerutu, menghujat, merasa dibohongi tapi nyatanya tetap saja mau dibohongi minimal 5 tahun sekali. Jangankan persoalan pribadi, persoalan besar yang tengah terjadi pun rasa-rasanya tak ada tindakan nyata dari para “pemburu suara”. 

Bukankah saat ini ekonomi semakin mengkhawatirkan dan tidak ada solusi dari para pemimpin? Pembangunan infrastruktur dan SDM jalan ditempat, kemana pemimpinnya? Daya beli masyarakat menurun drastis akibat ekonomi terpuruk, kemana pemimpinnya? Pergaulan remaja kian mengkhawatirkan dan busana anak gadis kita sudah kian menggemaskan, kemana pemimpinnya? Para putra daerah dengan SDM yang berkualitas namun diabaikan dan tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah guna membangun daerahnya, kemana pemimpinnya? Angka pengguna Narkoba dan judi online di daerah ini kian mencengangkan, kemana pemimpinnya? Destinasi wisata yang indah tanpa pengelolaan yang baik sehingga pariwisata kita bagaikan “hidup segan, mati dak pati renyek”, kemana pemimpinnya? 

Alam yang kian rusak akibat semerawutnya peraturan dan banyaknya kepentingan akibat cukong-cukong dengan modal besar sukses membiayai dana kampanye seluruh calon sehingga siapa pun pemimpinnya, ternyata mereka hanyalah boneka para cukong. Tanah rakyat dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar dan rakyat akhirnya menjadi pembantu di rumahnya sendiri, kemana pemimpinnya? Nyengol-kah pemimpin kita ketika rakyat menghadapi berbagai permasalahan kecil maupun besar?  

Ah, sudahlah! Jangan tanyakan kepada rumput yang bergoyang, karena rumput pun di Bangka Belitung ini tak lagi mampu bergoyang apalagi menjawab pertanyaan dan teriakan rakyat yang menjerit dalam dekapan penderitaan. Karena mereka itu…., Kalau lagi butuh suara, begitu mudah “nyengol” (nongol), tapi kalau sudah jadi pemimpin, “lah laen uman keringol (gesture) e”. 

Tag
Share