Ngerameng

Ahmadi Sopyan--

Oleh : AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

 

SALAH satu penyebab kesemerawutan hukum, birokrasi dan ketatanegaraan kita di negeri ini adalah karena yang bukan ahlinya duduk dalam posisi strategis, akhirnya komentar dan keputusannya pun berjenis kelamin “ngerameng”. 

---------------------

“NGERAMENG”, tutur lisan orang kampung di Pulau Bangka yang bermakna ngelindur alias tidak terkendali, tidak terkonsep, tanpa arah, semaunya, sesuai dengan apa yang ada di kepala saja. 

Kondisi kehidupan “ngerameng” baik dalam tatanan birokrasi, bernegara dan hukum kita sepertinya tak berkesudahan bahkan semakin menjadi-jadi. Yang salah menjadi paling benar, yang benar diabu-abukan dan akhirnya salah. Ustadz dan ulama dikriminalisasi, bajingan dan pemecah belah persatuan dan kesatuan rakyat dibela habis-habisan bagaikan sang anjing menjaga tuannya. 

Kalaulah orang seperti saya yang notabene rakyat kecil tak punya kuasa bersikap dan berbuat “ngerameng”, tak akan banyak dampaknya. Tapi kalau para pengambil kebijakan ngelindur, salah dan birokrasi, melawan aturan yang ada bahkan mejagal UU yang dibuat sendiri, akan berdampak dahsyat. Begitupula ketika hukum justru dikangkangi sendiri oleh aparat hukum, pasti menjijikan, memalukan sekaligus memalukan.

Dimanakah letak kita, para kecil yang kian hari kian tak berdaya? Di Koran, di televisi, mereka kaum berdasi semua berbicara dengan gagah dan patriotic. Namun, fokus pembicaraan mereka jika dicerna kebanyakan tentang tema-teman “pembagian kekuasaan” atau “perebutaan kekuasaan”. Hamper-hampir tak ada yang kita rasakan hatinya benar-benar mencintai rakyat, yang memfokuskan perhatiannya apakah rakyat akan kelaparan atau tidak, rakyat akan kafir atau tidak, rakyat akan mati secara benar atau benar-benar dimatikan.

Sejak reformasi bergulir, hingga hari ini saya pribadi tidak pernah tahu sebenarnya seperti apa wajah reformasi yang sesungguhnya. Reformasi bagaikan mencadin (hantu) yang hingga kini tak jelas juntrungan dan arahnya. Padahal begitu banyak pengorbanan nyawa, darah berceceran, kerusuhaan dan kemusnahan, kerugian dan ketakutan yang tiada tara. Siapakah yang memaknai kepahlawanan dan pengorbanan saudara-saudara kita melalui bukti reformasi yang dewasa? Ternyata…., kita masih dalam kategori anak-anak dari Orde yang kita kutuk di mulut, tapi kita biarkan ajaran-ajarannya terus hidup subur di dalam aliran darah dan jiwa kita.

Tanpa kita sadari, korupsi menjadi salah satu “sahabat: sehari-hari. Korupsi tak terasa korupsi karena sudah menjadi milik bersama, dilakukan bersama, ditutupi dengan alibi-alibi bersama, ditaburi harum wewangian retrorika dari berbagai sudut, sisi dan disiplin. Korupsi menjadi kecenderungan sehari-hari. Menjadi “naluri alamiah” tradisi kebudayaan kita. Menjadi makanan pokok sehari-hari. Menjadi candu yang membuat orang merasa rugi kalau tak melakukannya.

Ternyata, kita merampok dengan cara mengincarnya untuk kita rampok kembali atau kita “ngebon” perampok dari untuk merampok negara kita sendiri. Kita mencaci penguasa zhalim sambil berusaha keras untuk segera menggantikan kezholimannya. Kita mengutuk dan membenci para pembuat dosa dengan cara syetan. Akhirnya, yang kita perbarui bukanlah berupaya menyembuhkan luka melainkan rancangan-rancangan panjang guna menyelenggarakan perang saudara. Aparat hukum tak paham hukum dan mempermainkan hukum sesuai pesanan para penguasa dan pengusaha hukum. Aparat hukum berseragam hanya gagah dan berbintang dipundak, namun tak memiliki bintang apapun terhadap rakyat. Bintang gemerlap dipundak bagaikan bintang abadi.

Demokrasi “Ngerameng”

DEMOKRASI yang kian “kebablasan”, begitu ucapan pemimpin negeri ini. Wallahi, saya belum yakin yang ngomong itu paham makna demokrasi, tahu ukuran kebablasan dan ngerti dengan kalimat yang ia ucapkan. Wallahi saya sama sekali tidak percaya “beliau” mengerti.

Tag
Share