KAMPUNG KEPOH (Bagian Satu)
Elvian--
Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
SEWAKTU Kesultanan Johor, Kesultanan Minangkabau dan Kesultanan Banten berpengaruh di pulau Bangka pada sekitar awal dan pertengahan abad 17 Masehi, sudah berkembang beberapa batin di dekat sungai Kepo dalam wilayah Kepatehan Pakuk di Bangka bagian Selatan seperti Batin Gerunggang, Batin Jiwad atau Batin Balaikambang dan Batin Ketapik (Elvian, 2010:65).
--------------
SELAJUTNYA Selanjutnya pada masa Kesultanan Palembang Darussalam di bawah kekuasaan Sultan Ahmad Najamuddin I Adikesumo (memerintah Tahun 1757-1776 Masehi) dan pada masa pulau Bangka dipimpin oleh Abang Pahang Tumenggung Dita Menggala, wilayah Kepatehan Pakuk diubah menjadi Kadipaten Pakuk (gelar pateh pada masa Kesultanan Palembang Darussalam diganti dengan gelar depati). Selanjutnya Depati Pakuk membawahkan 6 batin pengandang dan 2 krio. Pada masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adikesumo, untuk meningkatkan produksi Timah sebagai penghasilan utama Kesultanan Palembang Darussalam, didirikanlah beberapa pangkal atau negeri tempat kedudukan demang dan jenang di wilayah Depati Pakuk. Beberapa pangkal yang didirikan di wilayah Depati Pakuk di samping Pangkal Kepoh yaitu Pangkal Toboali, Pangkal Balar dan Pangkal Koba/Kubak (Sujitno, 2011:160).
Pangkal Kepoh dalam peta Belanda pertengahan abad 19 Masehi, Kaart van het Eiland Banka (cartographic material) volgens de topographische opneming in de jaaren 1852 tot 1855, karya L. Ullman yang diterbitkan di Batavia pada Tahun 1856 Masehi, dituliskan bahwa di distrik Toboali (termasuk Kepoh) terdapat satu kampung bernama Pangkal Kapo. Kampung Pangkal Kapo bernama sama dengan toponimi sungainya yaitu Sungai Kapo (maksudnya sungai Kepoh). Toponimi kata Kepoh/Kepo/Kuppo untuk penamaan sungai dan pangkal serta kampung Kepoh berasal dari nama Flora kayu Kepuh (sterculia) atau sering disebut dengan kayu Kelumpang. Kampung Pangkal Kapo secara gegrafis didirikan dekat posisi belokan sungai yang awalnya lurus dari muaranya di Selat Gaspar (antara tanjung Bantan dan Pulau Anak Ayer) menuju ke arah Utara yang beririsan di sisi Baratnya dengan Kampung Bikang, Petaling, Serdang, Pergam, Bentja, Maas, dan Ayergegas, Metoeng dan Nangka. Hulu Sungai Kapo berasal dari Gunung Gebang (antara kampung Ranggas dan Kampung Nangka) dan Gunung Neneh yang menjadi batas alam Distrik Toboali dengan Distrik Koba. Sungai Kapoh atau Kepoh bermuara di Selat Gaspar atau Pesisir Timur Bagian Selatan Pulau Bangka.
Distrik Toboali merupakan distrik yang unik di pulau Bangka karena memiliki Dua wilayah pesisir yaitu pesisir Barat dan pesisir Timur bagian Selatan pulau Bangka. Distrik Toboali berbatasan sebelah Utara dengan distrik Koba dengan batas-batas alam, gunung Pading, gunung Neneh, gunung Moeroet, bukit Pelawan dan kampung Irat, sebelah Selatan distrik Toboali berbatasan dengan Selat Bangka, sedangkan sebelah Barat distrik Toboali berbatasan dengan distrik Soengaiselan dengan batas alam sungai Balar sampai ke kampung Irat, dan pada sebelah Timur berbatasan dengan distrik Koba dengan batas alam sungai Goemba sampai ke kawasan gunung Pading. Pada distrik Toboali berdasarkan Kaart van het Eiland Banka (cartographic material) volgens de topographische opneming in de jaaren 1852 tot 1855, karya L. Ullman, tercatat beberapa kampung yang penamaannya hampir sama dengan nama-nama kampung sekarang seperti Sabang of Toboali, Gadoeng, Baroe, Bikang, Petaling, Serdang, Pergam, Bentja, Maas, Ayer Gegas, Ayer Deles, Njilanding, Kladjoaw, Bedingong, Irat, Pankal Kapo dan Kapo, kemudian di wilayah pulau Lepar terdapat 2 (Dua) kampung yaitu Penoetoek dan Goenoeng.
Pangkal Kapo dan Kampung Kapo dalam peta karya L. Ullman adalah wilayah geografis yang berbeda. Kampung Kapo dalam peta L. Ullman digambarkan berada di sisi Selatan Pangkal Kapo atau tepatnya di sisi Selatan Gunung Montaye (Gunung Muntai) dan berada pada posisi sebelah Timur Sabang of Toboali. Dalam peta L. Ullman juga digambarkan, bahwa antara Sabang of Toboali sudah terhubung dengan jalan setapak menuju ke Pangkal Kepoh melalui kampung Gadung, demikian juga dari Sabang of Toboali ke kampung Kapo dan terus menuju ke Pangkal Kapo sudah terhubung melalui jalan setapak. Berdasarkan Peta Belanda terbaru: Res. Bangka en Onderh. Opgenomen door den Topografischen dienst in 1928-1929 yang dimaksudkan dengan Kampung Kapo adalah Kampung Kappo China sekarang.
Berdasarkan catatan sejarah dan Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1850, bundel Bangka No.41, pada masa pulau Bangka di bawah pemerintahan Sultan Kesultanan Palembang Darussalam, Muhammad Bahauddin (masa pemerintahan Tahun 1776-1803 Masehi), sekitar Tahun 1792 Masehi, pulau Bangka mengalami masa yang sulit karena merajalelanya perampokan terhadap pangkal-pangkal pusat penambangan Timah milik kesultanan yang dilakukan oleh perompak laut yang menamakan diri “Rayad” dari Siak dan juga mengganasnya para perampok yang menamakan dirinya dengan sebutan Lanun (Elvian, 2016:81). Rayad atau Rakyat adalah suku laut atau orang Laut yang mendiami Siak. Dalam hubungan dengan kerajaan Riau dan Johor, suku laut ini dikenal pula dengan nama “Rakyat” bersama suku-suku lainnya. Untuk membedakan mereka dari rakyat lainnya mereka juga disebut Rakyat Laut. Dalam kedudukan rakyat sultan, mereka tidak dikenakan pajak perorangan, tetapi diwajibkan memberi jasa sebagai pengayuh perahu kerajaan, menyediakan perahu jika diperlukan oleh penguasa dan sebagainya (Lapian, 2009:79). Daerah-daerah seperti Kepo, Ulin, Nyireh dan Bangkakota tidak luput dari perampokan dan penjarahan. Dengan pengecualian Toboali, dimana kubu atau benteng pertahanan kemudian telah buru-buru dibangun dekat semua wilayah sungai di sepanjang pantai Barat dan Selatan, terutama yang dari Banko-Kutto, Selan dan Kappu, kubu atau benteng diberikan tempat tinggal dan keamanan untuk menghadapi Lanons (Horsfield, 1848:317).
Bajak Laut Lanun atau Illanun, kemudian membangun benteng dan Pangkalan di sisi Utara sungai Kepo dan diberi nama benteng Moeloet. Bajak laut Illanun melancarkan serangan dari Kapo Lama di pesisir Timur pulau Bangka memutar secara ekstrem ke wilayah pesisir Barat pulau Bangka dan menjarah kawasan Toboali dan kampung-kampung di sekitarnya. Penjarahan dan perampokan bajak laut Illanun kemudian meluas juga di wilayah Pesisir Timur pulau Bangka ke wilayah Koba, Kurau, Pangkol (dekat Pangkalpinang) dan kemudian menyerang daerah pedalaman di Pakuk, tempat penduduk mengusahakan Besi. Perampokan bajak laut terhadap wilayah Paku, menyebabkan penduduk lari ketakutan dan bersembunyi di dalam hutan, penambangan Besi di wilayah Paku kemudian terbengkalai dan tidak dilakukan lagi oleh masyarakat. menyerang pemukiman penduduk asli dan daerah yang penting dan luas di Paku dan mengulangi kebiadaban yang dilakukan di Toboalih (Toboali). Menurut laporan yang saya terima di pemukiman yang tersisa terdekat dari Pangkalpinang dan Tirak beberapa ratus keluarga telah direnggut (dirampok) di pemukimannya, tapi jumlah terbesar tewas di hutan akibat kelelahan dan kelaparan; mereka melarikan diri ke distrik Utara (dari Pangkalpinang, Tirak (Terak), Depa, Marawang dan Sungailiat) dimana mereka menemukan tempat berlindung dari ancaman. Depati Paku tewas dalam serangan itu; penerusnya banyak kini bermukim di Tirak (Horsfield, 1848:317).
Sultan Kesultanan Palembang Darussalam, Muhammad Bahauddin untuk menumpas bajak laut, kemudian mengirimkan beberapa orang kerabat dekatnya yaitu Raden Keling, Raden Ahmad, Raden Badar, Raden Ali dan Raden Sa’bah untuk mengamankan pangkal-pangkal di wilayah Toboali termasuk Pangkal Kepo beserta perairannya di wilayah bagian Selatan pulau Bangka dari keganasan bajak laut (Belanda:zeerovers). Raden Keling dan puteranya Raden Ali kemudian menetap di pangkal Toboali sebagai kepala pemerintahan dan kepala rakyat di pangkal Toboali dan pulau Lepar atas nama Pangeran Adiwijaya (Bersambung).