Menangkal Ancaman Kutukan Sumber Daya Alam di Babel, Bagaimana Strateginya?
--
Oleh DR. Ardi Adji, Pakar Ekonomi Regional Universitas Indonesia
Tesis tentang resource curse atau kutukan sumber daya alam (SDA) sudah digaungkan ekonom global sejak era tahun 1990-an. Tesis ini menguraikan paradoks terhadap hipotesis bahwa wilayah yang memiliki kekayaan SDA melimpah akan mampu menyejahterakan masyarakatnya.
Tapi, di banyak negara, hipotesis itu justru terjadi sebaliknya. Wilayah atau negara yang kaya SDA justru terjerembab dalam kubangan kemiskinan. Mengapa itu bisa terjadi? Penyebab utamanya adalah tata kelola SDA yang tidak tepat dan tidak berjalannya roda transformasi ekonomi. Akibatnya, ketika cadangan SDA menipis atau rantai produksinya terganggu, maka pertumbuhan ekonomi langsung terdampak dan bayang-bayang kemiskinan makin nyata.
Bagaimana dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel)? Sebagai daerah utama penghasil komoditas timah, Babel memiliki sejarah panjang dalam pemanfaatan SDA sejak abad ke-18. Tiga abad berlalu, komoditas timah telah menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Babel. Hasilnya, Babel menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin terendah ke-5 di Indonesia.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, daya dorong komoditas timah terhadap pertumbuhan ekonomi Babel mulai menunjukkan pelemahan sejak era pandemi COVID-19. Kondisi ini diperburuk dengan beberapa kasus tata kelola timah yang berdampak pada terhentinya operasional rantai produksi timah.
Alarm Indikator Ekonomi dan Kemiskinan
Dominasi kontribusi sektor pertambangan dan pengolahan timah dalam postur perekonomian Babel bak pisau bermata dua. Di masa jayanya, timah menjadi motor yang menggerakkan roda perekonomian Babel. Namun saat kinerja sektor timah melemah, komoditas ini menjadi rem yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Pada triwulan III-2024 lalu, ekonomi Babel hanya mampu tumbuh 0,13 persen (y-on-y), jauh di bawah pencapaian triwulan III-2023 yang mampu tumbuh 4,01 persen. Pertumbuhan 0,13 persen ini juga jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional di periode sama yang mencapai 4,95 persen.
Jika dibedah lebih dalam, struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ditopang oleh lima lapangan usaha utama, yakni: Industri Pengolahan sebesar 21,23 persen; Pertanian, Kehutanan dan Perikanan sebesar 19,87 persen; Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor sebesar 14,93 persen; Konstruksi sebesar 9,38 persen; serta Pertambangan dan Penggalian sebesar 8,00 persen.
Sayangnya, dari lima pilar tersebut, empat diantaranya justru mengalami kontraksi. Hanya Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan yang tumbub tipis 0,61 persen. Adapun industri pengolahan yang merupakan kontributor PDRB terbesar justru mengalami kontraksi atau minus 4,91 persen.
Melemahnya kinerja ekonomi ini langsung berdampak pada kinerja pengentasan kemiskinan. Sebagai gambaran, indikator angka kemiskinan di level nasional sudah berhasil diturunkan ke level pra-pandemi COVID-19. Namun di Babel, angka kemiskinan belum kembali ke tingkat pra-pandemi. Bahkan, indikator kedalaman dan keparahan kemiskinan serta ketimpangan pendapatan justru meningkat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, per September 2024 jumlah penduduk miskin di Babel tercatat sebesar 5,08 persen dengan jumlah penduduk miskin 78,58 ribu jiwa, naik 1,26 ribu dibanding Maret 2024 yang berjumlah 69,95 ribu jiwa. Secara persentase, kemiskinan naik dari 4,55 persen menjadi 5,08 persen. Sebagai gambaran, kemiskinan Babel pra-pandemi (September 2019) tercatat sebesar 4,50 persen.
Selain itu, pengentasan kemiskinan di Babel juga menghadapi tantangan berupa kedalaman dan keparahan kemiskinan yang semakin memburuk. Ini terlihat dari indikator Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) pada September 2024 meningkat menjadi 0,752 dari 0,662 pada Maret 2024. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) juga naik dari 0,156 pada Maret 2024 menjadi 0,202 di September 2024.
Pelemahan kinerja ekonomi dan pengentasan kemiskinan di Babel ini patut diwaspadai. Data-data ekonomi dan sosial tersebut menjadi alarm yang harus diperhatikan dengan serius. Sebab, apabila tren pelemahan tersebut berlanjut, ancaman kutukan sumber daya alam bisa saja menjadi kenyataan di Babel.
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk menangkal ancaman kutukan tersebut?
Transformasi Motor Penggerak Ekonomi
Transformasi ekonomi menjadi salah satu alternatif kunci untuk menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian. Transformasi ini ditandai dengan proses perubahan struktur perekonomian, yang antara lain ditunjukkan dengan:
1. Menurunnya pangsa sektor primer (pertanian & pertambangan);
2. Meningkatnya pangsa sektor sekunder (industri & konstruksi); dan
3. Pangsa sektor tersier (jasa) memperlihatkan kontribusi yang meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2006).
Dalam 15 tahun terakhir, sektor pertambangan terus menurun kontribusinya dari 17 persen menjadi 8 persen dari total PDRB di Babel, demikian juga industri pengolahan yang ditopang oleh industri timah menurun kontribusinya dari 26 persen pada 2010 menjadi 21 persen di tahun 2023.
Seharusnya, proses penurunan peran sektor primer pertambangan diikuti oleh peningkatan sektor sekunder, akan tetapi hal ini tidak terjadi. Justru sektor primer pertanian yang meningkat, akan tetapi tidak terlalu besar dari 17 persen di tahun 2010 menjadi 19 persen di tahun 2023 dan perdagangan di sektor sekunder 13 persen di 2010 menjadi 16 persen di tahun 2023.
Melihat pola di atas, turunnya pangsa pasar sektor primer tidak mengarah ke peningkatan sektor industri, akan tetapi terdistribusi ke sektor primer yakni sektor pertanian. Selain itu, sektor industri belum bergerak naik, sehingga dalam jangka menengah dan panjang perlu menjadi perhatian.
Salah satu sektor yang bisa menjadi alternatif motor penggerak ekonomi Babel ke depan adalah sektor perkebunan yang didukung dengan pengembangan agro industri hasil perkebunan. Sektor lainnya yang prospektif adalah pariwisata. Namun sektor ini perlu ditunjang dengan pengembangan akomodasi makan minum, serta akses transportasi. Inilah yang perlu menjadi prioritas pembangunan di Babel.
Mempertajam Strategi Pengentasan Kemiskinan
Selain mendorong pertumbuhan ekonomi, strategi yang bisa dijalankan untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan langsung menyasar ke pusat kemiskinan. Karena itu, penting untuk mengetahui peta kemiskinan di Babel.
Data Insiden Kemiskinan Provinsi Babel berdasar Susenas Maret 2024 menunjukkan, porsi terbesar masyarakat miskin Babel (pekerja dan usia>=15 tahun) berada di sektor pertanian (5,5 persen) dan sektor pertambangan/penggalian sebesar 5,4 persen.
Jika dilihat dari distribusinya, maka dari total penduduk miskin di Babel sebanyak 44 persennya berada di sektor pertanian, kemudian di sektor pertambangan 24 persen. Hal ini menjelasakan pentingnya pemerintah daerah memahami fokus sektor ekonomi dalam melakukan pembangunan yang berpihak kepada masyarakat miskin.
Secara umum, Babel memang bukan wilayah miskin. Akan tetapi, keberpihakan program pembangunan sektoral yang merupakan mata pencaharian rumah tangga miskin perlu menjadi prioritas pemerintah.
Sebab, dalam jangka menengah dan panjang, Babel menghadapi tantangan berat berupa penurunan kontribusi sektor pertambangan dan pengolahan.
Tanpa strategi transformasi ekonomi yang tepat, Babel akan menghadapi risiko kontraksi ekonomi. Jika ditambah dengan profil kemiskinan yang memburuk, maka kombinasi keduanya akan memantik risiko ancaman kutukan SDA.
Inilah tantangan yang harus dihadapi dan dicarikan solusinya oleh pemerintah. Satu hal yang penting dipahami, kemiskinan bukanlah kutukan, akan tetapi bisa menjadi kutukan apabila terjadi pembiaran dan tidak ada keberpihakan serta strategi solutif dari para pengambil kebijakan. (*)