UN Kembali Digelar, Kapan?

Ilustrasi-screnshot-

Sedangkan proses seperti ketekunan dan rasa ingin tahu menjadi prioritas ke sekian.

Tak hanya itu, sistem pengerjaan soal tes UN yang mengacu pada benar salahnya jawaban juga cenderung membuat siswa untuk berkeyakinan tentang pengetahuan absolut, ada salah dan benar.

"Siswa tidak lagi berpikir reflektif maupun evaluatif terhadap sebuah teks soal. Wujudnya siswa lebih banyak investasi waktu untuk mempelajari teknis pengerjaan soal tes dan menghapalkan rumus dan definisi," tambahnya.

Poin terakhir yang disampaikan adalah keterkaitan antara sistem UN dan motivasi siswa.

Dayat menyingggung adanya keyakinan yang berkembang di masyarakat bahwa UN dapat memotivasi siswa untuk belajar.

Sejak tidak ada UN, baik siswa maupun guru lantas dianggap tidak punya motivasi karena tidak dianggap memiliki tantangan.

"Belum ada riset yang menyebutkan bahwa UN di Indonesia dapat memotivasi belajar siswa," cetusnya.

Meskipun ketika ditelusuri sumbernya, lanjut Dayat, "Bisa saja dihubungkan dengan jenis penilaian tertentu yang berpengaruh terhadap motivasi belajar."

Sebagai contoh, ketika UN dihubungkan dengan penilaian sumatif atau penilaian yang dilakukan di akhir periode pembelajaran, hasil studi ini masih terjadi perdebatan.

"Studi systematics literature review (SRL) yang dilakukan oleh Wynne Harlen dkk (2002) menemukan bahwa penilaian sumatif cenderung memberi dampak negatif terhadap siswa," tegasnya.  

Sementara riset yang dilakukan Seyed M. Ismail dkk (2022) menghasilkan penilaian sumatif berdampak terhadap motivasi, namun dampaknya tidak sekuat penilaian formatif. 

"Sayangnya, riset tersebut terikat konteks, ruang dan waktu yang berbeda sehingga tidak bisa digeneralisir dalam konteks UN di Indonesia," tutupnya.***

 

Tag
Share