PATEH SINGA PANDJANG DJONGOR

Elvian--

Oleh: Dato' Akhmad Elvian,DPMP 

Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 

 

BANGKA pada Pertengahan abad 17 Masehi: 

--------------

“BERKUASALAH seorang pateh di Kualo Menduk bernama “Pateh Singa Pandjang Djongor”, Istana panggungnya dijaga “Hulubalang Selikor, seorang anak dayangnya, bernama Dupang turun  dari panggung tewas digigit “Oelar Mati Ekor”, raja Pandjang Djongor diserang pasukan Djohor dan meninggal di Djeridji dikenallah makamnya dengan “keramat Dentelor”,  Bangka kemudian di bawah Panglima Sarah dalam daulatnya “sultan Djohor”, berkuasalah di pulau Bangka pateh Raksakoening, Alam Harimau Garang dan “hulubalang Selangor” (Dalam Bankanese History, Elvian, 2018).

Pada masa setelah VOC yang bersekutu dengan kesultanan Aceh dan kesultanan Johor menaklukkan Malaka dari tangan Portugis pada bulan Januari Tahun 1641, pulau Bangka saat itu diperintah oleh kepala-kepala rakyat yang bergelar Pateh. Gelar pateh sudah ada ketika pulau Bangka dikuasai oleh Tumenggung Dinata dari Keprabuan Majapahit yang berkuasa di pulau Bangka sekitar abad 14 dan 15 Masehi. Pada pertengahan abad 17 berkuasa di pulau Bangka beberapa pateh yaitu; di daerah Jeruk seorang pateh bernama Raksakoening dan hulubalangnya yang terkenal bernama hulubalang Selangor, di daerah  Menduk berkuasa seorang pateh bernama  Ngincar, di daerah Depak berkuasa pateh bernama Gambir  (Kembar) dengan Empat orang hulubalangnya bernama Layang Sedap, Mengadun, Mengirat, dan Sekapucik, dan di daerah Cepurak berkuasa seorang pateh bernama Ngabehi dan terakhir seorang lagi pateh bernama Singa Pandjang Djongor yang berkuasa di Kuala Menduk,  sekarang wilayah Kotakapur (Wieringa, 1990:62).

BACA JUGA:RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK (Bagian Empat)

Pada pertengahan abad 17 disaat pulau Bangka dikuasai oleh Lima orang Pateh dengan beberapa hulubalangnya, pulau Bangka diserang oleh bajak laut raja Tidoeng. Pasukan bajak laut dari raja Tidoeng diduga berasal dari salahsatu daerah dari empat muara sungai Berau yang bernama Muara Pantai, Muara Guntung, Muara Garura dan Muara Tidung di Kalimantan Timur. Bajak laut raja Tidoeng, menyerang dan merampok pulau Bangka sehingga menimbulkan ketakutan yang luar biasa pada penduduk (Elvian, 2016:3). Daerah pertama yang diserang bajak laut raja Tidoeng adalah daerah kekuasaan pateh Ngincar di Menduk dan daerah kekuasaan pateh Ngabehi di Cepurak. Rakyat dua daerah ini banyak yang mati dan sebagian melarikan diri ke hutan. Selanjutnya wilayah kekuasaan pateh Raksakoening di Jeruk dan wilayah kekuasaan pateh Gambir (Kembar) di wilayah Depak ikut juga diserang oleh bajak laut raja Tidoeng. Satu-satunya wilayah pateh yang tidak diserang oleh bajak laut raja Tidoeng adalah wilayah pateh Singa Pandjang Djongor yang berkuasa di wilayah Kuala Menduk.

Kesultanan Johor dan Kesultanan Minangkabau yang pada masa itu sangat berpengaruh di kawasan pantai Timur Sumatera, selat Bangka dan selat Malaka terutama setelah Kota Malaka jatuh ketangan VOC Belanda, berusaha untuk mengamankan jalur perdagangan pada kawasan ini. Dua kesultanan besar tersebut menjalin ikatan kerjasama antara lain, Kesultanan Johor memberikan perlindungan terhadap orang-orang Minangkabau yang berada di Negeri Sembilan dan Kesultanan Minangkabau memberi perlindungan terhadap jalur perdagangan di selat Bangka dan di kawasan pantai Timur Sumatera termasuk wilayah di perairan sekitar pulau Bangka. 

Panglima Syarah dari kesultanan Johor dengan pasukannya dalam rangka pengamanan wilayah perairan di sekitar pulau Bangka masuk ke pulau Bangka melalui sungai yang bermuara di wilayah pesisir Barat pulau Bangka yang kemudian sungai tersebut diberi nama Kotaberingin sedangkan Hulubalang Alam Harimau Garang dari kesultanan Minangkabau masuk ke pulau Bangka menyusuri sungai yang bermuara di pesisir Timur pulau Bangka yang kemudian sungai tersebut diberi nama sungai Jeroek. Penyerangan terhadap bajak laut raja Tidoeng oleh pasukan Panglima Syarah dan Hulubalang Harimau Garang bersama-sama dengan pateh-pateh dan hulubalang yang berkuasa di Bangka dilakukan melalui laut dan sungai dipimpin oleh Panglima Syarah, sedangkan penyerangan melalui darat dilakukan dan dipimpin oleh Hulubalang Alam Harimau Garang. Setelah serangan dari darat dan laut, bajak laut Tidung berhasil dikalahkan, dan melarikan diri serta bertahan di bukit Sambung Giri (daerah Merawang), sementara separuh hulubalang dan pasukannya bersembunyi di daerah Cengal. Pasukan Hulubalang Alam Harimau Garang terus menyerang pasukan bajak laut Tidoeng dan raja Tidoeng kemudian mati terbunuh.

Satu-satunya pateh yang tidak diserang oleh bajak laut raja Tidoeng adalah pateh Singa Pandjang Djongor yang berkuasa di Kuala Menduk. Rupanya pateh Singa Pandjang Djongor telah melakukan kerjasama dengan bajak laut raja Tidoeng (memberika informasi dan jalan yang memudahkan bagi para bajak laut menguasai wilayah pulau Bangka). Mengetahui hal ini Panglima Syarah dan Hulubalang Alam Harimau Garang mengerahkan pasukannya untuk menyerang pateh Singa Pandjang Djongor. Mengetahui dirinya akan diserang pateh Singa Pandjang Djongor mempersiapkan pasukannya. Benteng kotanya di perkuat dan dijaga ketat oleh pasukan, istana panggungnya dijaga oleh “Hulubalang Selikor”, artinya dijaga oleh Dua Puluh Satu orang Hulubalang kenamaan. Pada suatu malam dalam suasana pengepungan yang mencekam oleh pasukan gabungan panglima Syarah dan Hulubalang Harimau Garang beserta pateh-pateh dan hulubalang dari Bangka, salah seorang anak dayang Pateh Singa Pandjang Djongor bernama Dupang (ada enam anak dayang Pateh Singa Pandjang Djongor), turun dari istana panggungnya untuk menutuk padi, guna bekal bagi orangtuanya berperang esok harinya. Akan tetapi malang saat turun dari panggung istananya, Dupang dipatuk ular berbisa “Mati Ekor” dan tewas. 

BACA JUGA:BATU BERANI DAN BIJIH BESI DI PAKUK

Salah seorang saudara perempuannya yang kemudian menemukan Dupang terbujur kaku, berteriak: “Dupang mati dipatuk Ular Mati Ekor”!, teriakan itu terdengar oleh Raja Pandjang Djongor, bahwa anak dayangnya Dupang, mati dibunuh oleh hulubalang Selikor, dan dalam pemikirannya, bahwa para hulubalangnya telah membelot dan berkhianat membantu musuh yang menyerangnya.  Pateh Singa Pandjang Djongor kemudian melarikan diri dan bersembunyi di  rawa-rawa (payak) kuala Menduk dalam waktu yang lama dan hidup dari memakan cacing payak kuala Menduk (dalam cerita rakyat karena memakan cacing payak mulutnya/jungornya memanjang seperti Babi hutan sehingga dikenallah ia dengan sebutan Pateh Pandjang Djongor). Setelah situasi dirasakan aman, Pateh Singa Pandjang Djongor kemudian melarikan diri ke Selatan pulau Bangka. 

Tag
Share