Belajar Ceria Dengan Madura

Kamis 06 Jun 2024 - 21:52 WIB
Reporter : Tim
Editor : Syahril Sahidir

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

 

ORANG Madura selalu punya solusi. Misalnya wacana Pemerintah melarang Warung Madura buka 24 jam, Madura nggak demo apalagi bikin mosi tidak percaya kepada Pemerintah. Justru mereka taati, dengan buka 23 jam 50 menit.

-----------

SALAH satu keunikan dan anugerah Indonesia adalah karena memiliki suku Madura. Mengapa disebut suku Madura? Sebab Madura selalu membantah jika disebut Jawa Timur. Kalau ditanya: “Dari Jawa Timur ya?” Mereka pasti menjawab: “Bukan, dari Madura, Dik!” sambil matanya agak mendelik dan logat yang khas. Ini persis ketika saya kuliah di Malang dulu, seorang mahasiswa baru asal Madura ketika diwawancara kakak kelas: “Apa agamamu” dengan tegas dijawab mahasiswa baru asal Madura itu: “NU”. Ditanya lagi, “Agama”. Dijawab lebih tegas plus mata mendelik: “NU”. Sama persis ketika orangtua Madura memberi nasehat sama anak gadisnya: “Nak, kalau menikah, harus dapat seagama dengan kita ya” nasehat sang Ayah. Sang Anak Gadis bertanya: “Kalau nggak dapat yang seagama?”. Lalu sang bapak menjawab: “Kalau nggak dapat yang seagama, ya minimal Muhammadiyah” jawab sang Bapak polos.

Saya bangga dengan Indonesia yang dianugerahi keunikan manusianya dengan berbagai karakter ceria plus budaya dan bahasa (logat) lokal. Madura, Betawi, Batak, Ambon, dan puluhan suku lainnya, memiliki karakter yang unik dan bagian dari kekayaan Indonesia yang tidak ada di negara lain. Bagi saya, suku-suku yang disebut tadi adalah suku-suku orang ceria. Segala sesuatu bisa menjadi bahan untuk ditertawakan dan bahkan mentertawakan diri sendiri. Ingat! Mentertawakan diri sendiri itu adalah sense of humor tingkat tinggi. Kalau dalam agama, mungkin sudah pada tingkatan wali. Tidak heran, bagi orang Madura, tragedi dalam waktu sangat singkat bisa berubah menjadi komedi. 

Suku Madura adalah kumpulan orang-orang cerdas yang selalu punya solusi dalam permasalahan hidup. Otak dan otot berjalan beriringin apalagi kala mereka hidup di perantauan, sehingga orang Madura itu kalau ia sudah merantau dipastikan sukses. Ingat, suksesnya orang Madura, selalu melibatkan teman-temannya sesama Madura alias tidak sukses sendiri. Karakter yang unik, bagi orang Madura, tidak ada pertanyaan yang tidak memiliki jawaban, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Sekali lagi semua itu dibungkus dengan humor dan gaya lugu nan polos.

“Permisi Pak, numpang buang air kecil” ujar seorang bapak-bapak asal Madura kepada Security yang lagi ngadem di pos-nya. “Ya silahkan, itu disamping pos” jawab Security sambil menunjukkan jarinya ke arah semak-semak persis samping pos. Suasana sunyi, tiba-tiba sang Madura yang kencing itu mengeluarkan suara kentut yang sangat keras sehingga membuat Security kesel. “Sampeyan itu nggak sopan, sudah diizinin kencing, malah kentut pula!”. Dengan santai si Madura menjawab: “Bo abo… bapak Suriti ini, hujan aja ada petirnya kok”.

Seorang Ibu membeli buah semangka, kebetulan penjualnya adalah seorang bapak asal Madura. “Semangkanya merah nggak, Pak?” tanya ibu itu. “Dijamin merah, Ibu” jawab Madura. Sang Ibu pun membeli sebiji semangka dan pulang dengan menaiki becak. Tidak lama kemudian, sang ibu ini kembali lagi dengan membawa semangka yang ia beli tadi dalam keadaan sudah pecah. “Ini gimana Pak, katanya tadi semangkanya merah. Ini malah putih pucat” protes sang ibu keras. “Lho, kok semangkanya pecah begitu ibu?” tanya Madura. “Ini tadi pas dijalan jatuh dari becak, ketahuan kan akhirnya bapak bohong, ternyata semangkanya tidak merah tapi putih pucat!!” Sang ibu masih dengan nada kesel. “Bo aboo… ibu ini. Jangankan semangka, kita saja kalau jatuh pasti pucat” jawab penjual asal Madura ini dengan entengnya.

Penjual jeruk asal Madura juga tak mau kalah. “Jeruknya manis, Pak?” tanya pembeli. “Ya manis, Dik” jawab bapak-bapak penjual jeruk asal Madura. “Ya udah saya beli 2 kilo” ujar pembeli lantas pergi setelah transaksi. Tidak lama kemudian, pembeli ini kembali ke lapak penjual jeruk dengan sambil menenteng 2 kilo jeruk yang baru dibeli. “Pak, katanya tadi jeruknya manis, ternyata setelah saya coba, asam dan kecut!!” protesnya. Dengan santai penjual asal Madura ini bertanya: “Sampeyan beli berapa kilo, Dik?” lantas pembeli ini menjawab: “2 kilo, Pak”. Mendengar jawabannya, si penjual dengan santainya menjawab: “Sampeyan baru beli jeruk kecut 2 kilo saja protes. Saya belinya 2 truk, kecut semua ndak protes!” sambil tangannya menunjuk ketumpukan jeruk.

Tak hanya di pasar, orang Madura “berulah” dengan kecerdasannya pun di ruang persidangan. “Apa benar Anda mencuri sapi?” tanya Pak Hakim. “Ndak benar itu Pak Hakim” jawab sang Madura yang duduk di kursi terdakwa. “Jadi Anda mencuri apa?” tanya Pak Hakim. “Saya mencuri tali Pak Hakim. Saya ndak tahu ada sapi di ujung talinya” jawab terdakwa asal Madura ini polos. Sebab ia tidak terima kalau dituduh mencuri sapi, ia hanya menerima tuduhan mencuri tali yang kebetulan sapinya ngikut karena terikat diujung tali. Tidak hanya hebat diruang persidangan yang ada di Indonesia, bahkan konon di ruang persidangan di Australia, sang Madura ini berulah dengan kecerdasannya. “Apa benar Anda mencuri ikan di perairan Australia?” tanya Pak Hakim Australia kepada nelayan asal Madura. “Ndak benar itu Pak Hakim. Saya ndak terima dituduh mencuri ikan Australia” jawab nelayan Madura polos yang duduk di kursi terdakwa. “Terus apa bantahan saudara?” tanya Hakim. “Saya ndak mencuri ikan Australia. Saya mengejar ikan itu dari laut Sumenep Madura, lalu ia lari sampai ke laut Australia. Ya saya kejar dong, wong itu ikannya berenang dari Sumenep Madura” jawabnya polos.

“Sampeyan ini Madura goblok, bikin macet aja!” teriak seorang Polisi lalu lintas yang marah kepada seorang Madura yang membawa banyak sapi ditengah jalanan sehingga bikin laju kendaraan menjadi macet. Dengan santai si Madura menjawab: “Tapi ini sapinya sapi Jawa lho”. Begitupula ketika si Madura di razia lantas diminta nunjukkin SIM oleh Polisi. “Ini bukan SIM sampeyan, fhotonya beda” ujar Polisi sambil nunjukin SIM yang diberikan oleh si Madura. Dengan santai dijawab oleh Madura: “Sampeyan ini gimana tho, wong orang yang saya pinjamin SIM-nya aja nggak marah, sampeyan kok marah!”. Pun demikian ketika seorang pengendara lain asal Madura diminta nunjukin SIM oleh Polisi, malah diberikan kartu anggota NU. “Ini kartu anggota NU, saya mintanya SIM” protes Polisi. “Santai Pak. Saya mau tanya, kalau SIM yang tandatangan siapa?” tanya Madura santai. “Ya Kapolres” jawab Polisi tegas. “Kalau ini kartu anggota NU yang tandatangan siapa?” tanya Madura lagi. “Polisi pun melihat kartu anggota NU si Madura dan yang tandatangan ternyata Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) yang kala itu adalah Ketua Umum PBNU. “Gus Dur” jawab Polisi. “Saya mau tanya, tinggian mana pangkatnya, Gus Dur dengan Kapolres sampeyan?. Jangan coba-coba merendahkan Gus Dur lho ya?” jawab Madura enteng. 

Jangankan Hakim atau Polisi, bahkan seorang murid SD asal Madura saja sudah berani membantah Kepala Sekolah. Suatu ketika, Sang Kepala Sekolah melihat ketinggian tiang bendera yang tidak sesuai dengan umumnya. Lantas Kepala Sekolah meminta seorang muridnya untuk mengukur berapa ketinggian tiang bendera tersebut. Lantas si murid itu pun langsung naik ke atas tiang bendera. Melihat muridnya naik ke tiang bendera, Kepala Sekolah menegur. “Ngapain kamu naik?” tanya Kepala Sekolah. “Lho, kata Bapak disuruh ngukur?” jawab muridnya polos. “Goblok! Kan kamu cabut dulu tiangnya, lantas dibaringkan dan baru diukur” Kepala Sekolah memberi Solusi. “Bo aboooh… Bapak Kepala Sekolah ini. Katanya disuruh ngukur tinggi? Kalau dicabut dan dibaringkan baru diukur, itu namanya ngukur panjang bukan tinggi, Pak!”.

Madura memang cerdas, bahkan saat naik haji, kecerdasannya tetap dibawa hingga ke tanah suci. Ketika sang Madura sedang berada dalam kamar hotel, tiba-tiba lampu di kamar hotelnya padam karena lampunya sudah tua dan belum diganti. Lantas si Madura pun turun ke resepsionis. Namun dia bingung mau ngomong apa, sebab tak pandai berbahasa Arab. Yang ia tahu Bahasa Arab hanya kalimat “ana” (saya) dan “Haaza” (ini). Lalu kepada resepsionis hotel yang adalah orang Arab itu diajaknya ngobrol sambil nunjukin lampu yang di lobi hotel. “Syeikh…. Haaza ana…. Innalillahi wa inailaihi roojiuun….”. Sang resepsionis Arab pun langsung mengerti.

Kategori :

Terkait

Kamis 17 Oct 2024 - 21:26 WIB

Sandra Dewi & Aon

Kamis 10 Oct 2024 - 20:47 WIB

Filosofi Tanah & Perilaku Sosial