Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
PAGAR laut yang sekarang menjadi isu nasional di Tangerang khususnya, bersifat negative karena kepentingan bisnis dan syarat permainan. Tahukah Anda, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) sudah lebih dulu 'memagar laut' sebagai sebagai kearifan lokal? --redaksi---
----------------
DALAM hukum adat di Bangka dikenal wilayah teritorial tempat tinggal jasmaniah dan wilayah tempat tinggal rohaniah yang berada pada teritorial atau wilayah daratan dan wilayah lautan.
Orang Laut dan Orang Darat Bangka atau bumiputera Bangka (Bangkanese) mengekploitasi wilayah bahari/laut termasuk pesisir sebagai ruang kehidupan, sehingga melahirkan budaya berbasis bahari (sea based culture). Munculnya Istilah "membajak laut", awalnya adalah dalam konteks kegiatan mengeksplorasi bahari atau lautan dan pesisir dengan segala bentuk kekayaannya. Kata "bajak" kemudian diubah dalam kebijakan politik Kolonial Belanda dengan politik cultuur stelsel, yang memfokuskan ruang kehidupan ke wilayah daratan dan dari kata membajak lautan muncullah kata membajak sawah, membajak ladang dan membajak kebun. Penggunaan Istilah zaman bahari (zaman barik) juga menunjukkan atau merujuk, bahwa nenek atau “nek” (laki-laki) moyang kita dipimpin para batinnya pada masa lampau mengeksplorasi bahari sebagai salah satu ruang wilayah kehidupan. Orang Laut Bangka juga menggunakan julukan Batin, sama seperti julukan bagi pemimpin Orang Darat (Horsfield, 1848:323). Penguasaan atas lautan memunculkan pepatah petitih berupa seruan sejak zaman Majapahit “Jale?eva Jayamahe” yang bermakna “Justru di laut (air) kita jaya”. Laut atau bahari adalah salah satu ruang kehidupan karena masyarakat Bangka juga memiliki daratan berupa banyaknya pulau-pulau (kepulauan), oleh sebab itu kemudian muncul kiasan "jangan lupa daratan".
Orang Darat Bangka atau Orang Bukit (hill people) juga menjadikan laut sebagai “halaman muka” dari kampung atau pemukimannya, baik kampung yang dikepalai oleh batin maupun pangkal-pangkal yang didirikan sebagai pelabuhan pengumpul (feeder point) selalu berorientasi pada pesisir dan bahari. Untuk menjaga wilayah kampung dan pangkal dibangunlah kota-kota atau benteng/parit pertahanan. Kebijakan lokal (local genius) orang Bangka dalam bidang ekonomi tampak dalam keseharian kehidupannya menata potensi di daratan dan di lautan, misalnya pada saat harga Sahang atau Lada dan Karet turun mereka menyimpan dan tidak menjualnya ke pasar dan untuk mengganti aktifitas ekonomi rumah tangga, mereka turun ke laut atau ke pesisir menjadi nelayan, begitu juga sebaliknya bila angin musim kencang atau terang bulan purnama di laut, mereka melabuh (melepa) peralatan lautnya dan beralih ke kegiatan di darat. Potensi bahari di Kepulauan Bangka pada masa lampau yang dominan adalah Ikan, Duyung, Kimak, Gibang, Teripang/Gamat atau Timun Laut, Kerang-Kerangan dan agar-agar (rumput laut). Hasil-hasil laut tersebut kemudian ditukarkan (silor) dengan beras darat yang dihasilkan oleh orang Darat pribumi Bangka dan barang-barang kelontong serta besi dari penduduk Melayu dan orang-orang Cina. Begitulah kecerdasan ekonomi lokal di Bangka yang umumnya masih berlangsung hingga abad 20 Masehi.
Sebagai salah satu ruang kehidupan, wilayah Rabeng (mangrove) di pesisir dan wilayah laut, terutama pada Zona Litoral yaitu pada zona pantai yang berada di antara garis pasang naik dan pasang surut serta pada Zona Neritik yaitu Zona laut dangkal yang berada di kedalaman hingga 200 meter, masyarakat Bangka menjaga/melindungi dan merawatnya dengan baik dan menjadikan wilayah tersebut sebagai milik komunal (milik bersama) dalam pemanfaatannya. Zona Neritik dan Zona Litoral yang kaya akan biota laut dibajak dengan kearifan lokal misalnya dengan membuat Tuguk, Bagan, atau Kelong dan Sirok, serta peralatan tangkap lainnya. Pemanfaatan wilayah pesisir dengan Bagan, Kelong dan Sirok serta perlengkapan tangkap tradisional lainnya adalah salah satu bentuk kearifan lokal, membajak laut dan atau memagari/melindungi serta mengamankan laut sebagai salah satu faktor produksi dari ruang kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Tidak ada penguasaan atau pengakuan pribadi atau kelompok terhadap wilayah pesisir dan laut.
Sirok adalah salah satu alat tangkap atau teknologi tradisional di Bangka untuk menangkap ikan dan biota laut lainnya. Sirok sering juga disebut pagar jebak atau perangkap ikan di laut. Sirok berbentuk perangkap yang terdiri dari susunan ruang pagar-pagar di laut (bukan seperti pagar laut yang diributkan di wilayah Tangerang) yang akan menuntun atau menggiring ikan-ikan dan biota laut lainnya menuju perangkap utamanya. Konstruksi dan metode pengoperasian Sirok terdiri dari bagian-bagian penting antara lain: badan, sayap, dan pembunuh. Pagar-pagar yang disusun dengan formasi berjajar dibuat dari jenis tumbuh-tumbuhan yang diambil di hutan (diambil dari hutan Peramun), dan sebagai bahan utamanya menggunakan tanaman atau tumbuhan Resam. Batang Resam dianyam sehingga berbentuk tirai atau pagar. Badan Sirok terdiri dari kamar-kamar atau ruang ruang dengan jumlah yang bervariasi tergantung ukuran besaran Sirok yang akan dibuat. Untuk Sirok yang kecil terdiri dari 1 sampai 2 kamar atau ruang, sedangkan Sirok yang besar terdiri atas 4 kamar atau ruang. Selanjutnya ada bagian konstruksi Sirok yang disebut Sayap Sirok, bagian ini merupakan bagian paling luar dari Sirok (paling lebar) dan mirip pagar yang tampak dari wilayah daratan. Panjang sayap Sirok sangat variatif tergantung ukuran Sirok dan Sirok sirok lain di samping kiri dan kanan Sirok milik rumah tangga keluarga batih lainnya. Untuk Sirok ukuran besar, biasanya sayap Sirok luar dapat mencapai antara 300-500 meter.
Konstruksi berikutnya setelah lapisan sayap luar Sirok, adalah lapisan Kamar atau ruang Sirok yang disebut dengan pembunuh. Pada bagian depan ruang pembunuh dipasang pintu-pintu dari anyaman Resam yang mudah ditutup dan dibuka pada waktu operasi penangkapan atau pengambilan hasil Sirok. Fungsi ruang pembunuh sangat penting sebab merupakan penghalang (penghalau) atau penggiring perjalanan ikan. Sifat ikan yang umumnya berenang menelusuri pantai dan bila berpapasan dengan sayap luar Sirok, maka ikan cenderung akan membelok dan berenang menelusuri sayap Sirok ke arah tempat yang lebih dalam dan akhirnya terperangkap pada lapisan ruang pembunuh Sirok dan apabila sudah masuk ke dalam lapisan atau ruang pembunuh Sirok, maka ikan tidak dapat lagi keluar dari Sirok. Lapisan ruang pembunuh Sirok biasanya terdiri dari beberapa ruang, bisa Tiga bisa Dua ruang atau lebih. Setelah masuk ke lapisan atau ruang pertama pembunuh Sirok, ikan akan masuk ke lapisan atau ke ruang pembunuh Sirok berikutnya, begitu seterusnya sampai terakhir masuk ke lapisan atau ruang pembunuh terakhir (utama). Setelah ikan-ikan masuk kebagian ruang pembunuh terakhir atau utama kemudian dilakukan penangkapan ikan dengan menggunakan penyidok (jaring berbentuk bulat dengan tangkai pegangan dari kayu panjang), sering juga disebut dengan penangkul.
Daerah atau zona penangkapan atau pemasangan Sirok dilakukan di zona Neritik atau di laut yang relatif dangkal atau dengan pengertian, pada waktu air laut pasang tergenang air, sedang waktu surut tidak tergenang air, sehingga pada saat air surut dapat dilakukan penangkapan atau pengambilan ikan dengan berjalan kaki atau menggunakan sampan (sam=tiga, pan=papan). Musim penangkapan Sirok dapat dilakukan sepanjang tahun dengan mengandalkan pasang naik dan pasang surut air laut dan keberadaan Sirok terus dijaga dan dirawat sepanjang tahun dengan mengganti bagian-bagian Sirok yang rusak. Penentuan pemasangan wilayah Sirok dilakukan dengan kearifan lokal memperhatikan arus laut, kondisi angin, wilayah pasang naik dan pasang surut air dan keberadaan terumbu karang serta biota laut lainnya. Hasil penangkapan Sirok terutama adalah berbagai jenis ikan pantai dan ikan-ikan besar serta biota laut lainnya.***